Sebagian orang berburu nilai UN/UASBN yang tinggi tetapi melupakan proses untuk mencapainya. Tidak dipungkiri segala yang instan kini sudah merambah berbagai lini kehidupan, bukan hanya dunia kuliner yang menyajikan makanan-makanan instan, pada dunia pendidikan pun ada praktik instan yang dilabelkan sebagai mutu pendidikan. Sebagian orang yang yang menyuarakan bahwasannya ujian nasional itu perlu perbaikan di sana-sini merupakan jalan tengah daripada menghapuskannya sama sekali, meskipun hal ini tentu mengecewakan mereka yang tidak setuju dengan adanya UN/UASBN. Praktik instan berdasarkan pengalaman penulis yang telah menjadi pendidik selama 18 tahun yakni adanya tradisi les-les menjelang ujian dengan tujuan nilai UN/UASBN tertinggi, karena nilai UN/UASBN tetringgi menjadi simbol kesuksesan seorang siswa.
Seorang kepala sekolah disorot kurang berhasil membawa kemajuan sekolah bila nilai UN/UASBN tidak memuaskan, meskipun prestasi lain memuaskan sebagai contoh prestasi olahraga, seni, teknologi tepat guna atau lainnya. Mereka yang masih beranggapan bahwa nilai UN dan UASBN adalah segalanya itulah yang harus segera bertaubat nasuha. Mosok peserta didik kita mau dihakimi dengan angka-angka hasil UN/UASBN, kasihan kan? Itulah yang barangkali yang menjadi pemikiran bersama, bagimana memperbaiki UN/UASBN ke depan.
Seorang kepala sekolah disorot kurang berhasil membawa kemajuan sekolah bila nilai UN/UASBN tidak memuaskan, meskipun prestasi lain memuaskan sebagai contoh prestasi olahraga, seni, teknologi tepat guna atau lainnya. Mereka yang masih beranggapan bahwa nilai UN dan UASBN adalah segalanya itulah yang harus segera bertaubat nasuha. Mosok peserta didik kita mau dihakimi dengan angka-angka hasil UN/UASBN, kasihan kan? Itulah yang barangkali yang menjadi pemikiran bersama, bagimana memperbaiki UN/UASBN ke depan.