Misteri Edelweis
oleh Yudi Karsono
Gadis yang bola matanya bening itu sedang berdiri di tepi telaga. Ada temannya di situ, beberapa murid perempuan, dan guru-guru mereka, sepertinya. Mereka sedang asyik menikmati pemandangan telaga yang sudah dangkal karena endapan lumpur yang bercampur belerang. Endapan lumpur berasal dari perbukitan yang semakin botak seperti kepala bapak kepala sekolah (maaf, sepertinya tidak ada hubungan).
Telaga
ini menjadi objek wisata yang menarik. Orang menyebutnya telaga warna, karena
keunikan warna air yang sering berubah-ubah. Kadang berwarna kuning, hijau,
atau mirip warna-warna pelangi. Fenomena ini terjadi karena keadaan air yang bercampur belerang, sehingga air telaga
memantulkan cahaya matahari berwarna-warni. Lebih tepatnya, besok akan ia
tanyakan kepada guru fisika di sekolah.
Sejak
turun dari bis ia merasakan sesuatu di perutnya: lapar! Ia menahan rasa lapar dalam
waktu yang lama, dari tadi sampai sampai saat ini. Sampai ada suara yang
membuat dirinya seperempat kaget. Ia membalik kanan, melihat sumber suara yang memberinya
angin. Angin surga itu memberi harapan dan kepastian. Paling tidak ada sesuatu
yang diharapkan.
“Teman-teman,
kita istirahat untuk makan mi ongklok,” ajak cowok yang memakai kupluk wind
stopper menebar kabar gembira.
Siapa
yang mengajaknya makan mi ongklok? Dia bukan teman satu kelas. Menurut feeling-nya
seperti penghuni kelas akhir jurusan ilmu sosial, atau siapapun itu tidak cukup
penting. Siapapun dia, yang pasti jiwanya sosial banget. Orang ini yang akan
berjasa mengakhiri rasa lapar, dan rasa laparlah yang membuat gadis bertopi itu
tidak berpikir panjang untuk menerima ajakan makan. Tak peduli apa yang akan
dimakan. Maaf, sebenarnya ia jarang banget atau kurang mood makan
kuliner tersebut di atas. Tidak tahu, mungkin ada phobia pada makanan sejenis
itu. Jangan memandang apa yang akan dimakan, tetapi lihatlah siapa yang
mengajak makan? Itu yang paling penting.
Ia
ingin sekali mendekati paman yang sedang menyiapkan makanan. Ia harus
menyampaikan bahwa mi untuknya tidak pakai saus, tidak pakai micin, tidak pakai
bawang merah, tidak pakai sambal, dan tidak pakai daun caisim. Lalu apa yang
akan dimakan? Ia malas beranjak untuk menyampaikannya kepada paman itu.
Enggan merespon berlebih terhadap
kebaikan orang lain. Pertama, tidak mau
dikatakan memanfaatkan. Kedua, tidak mau sok akrab, sok dekat, karena memang
tidak akrab dan tidak dekat. Jadi ia tidak akan menawar atau berusaha untuk
menyampaikan keinginannya. Ia membiarkan semua ini terjadi apa adanya saja. Gadis
bertopi itu tersenyum-senyum sendiri, menyadari apa yang sedang berputar-putar
di kepalanya.
Ia
merasa senang dapat hadir di ruang makan mi ongklok yang terkenal. Owner-nya
masih sangat muda, mahasiswa semester awal di sebuah universitas ternama di
Yogya. Kapan-kapan pengin datang lagi ke tempat ini, kepoin yang punya. Masih
muda sudah banyak duit. Ia amat penasaran dan pengin mengikuti jejaknya menjadi
pebisnis sukses.
Beberapa
makhluk sudah duduk menunggu di ruang makan. Jumlah mereka sembilan orang.
Duduk dari kiri ke kanan: AK, UL, AP, AR, BA, NG, dan ET. Kemudian yang
berlawanan arah HE, dan terakhir bosque siang ini, inisialnya BAT. Sebagian
besar belum keluar suaranya, padahal sudah lama sering berjumpa. Beberapa saat
mereka berusaha duduk dengan nyaman sambil mendengarkan musik. Belum ada yang
menanyakan siapa dan darimana makhluk yang mengajaknya makan mi ongklok. Apa
yang akan ditanyakan, sedang dipikirkan. Sepertinya aneh kalau hanya akan
menanyakan, di mana rumahmu? Atau siapa saja temanmu?
“Permainan
ST kemarin sangat bagus?” dia memulai pembicaraan.
“Dia
berbakat sejak kecil, cerdas banget cara bermain fingerstyle-nya,” balas
temannya, gadis bertopi.
“Colab
sama kamu bagus banget,” dia mengusulkan sambil menunjuk gadis bertopi.
“Setuju,”
teman-temannya secara aklamasi menyetujuinya.
“Apa-apan?
Suaraku fals,” kata gadis bertopi berusaha merendah.
“Suaramu
bagus dan pastinya keren mantap, dan bikin melayang-layang,” ujar UL seraya
mengeluarkan jempolnya.
“Dasar
tukang hoaks,” sambung gadis bertopi yang ternyata berinisial AK.
“Ketagihan
karena penyanyinya cantik,” sela UL.
“Cantik
wajahnya dan bagus suaranya. Dia komplit banget,” yang lain menimpali.
“Siapa
yang kalian maksud, teman-teman? Itu namanya sesat opini saja, bicara tidak
berdasarkan fakta,” bantah gadis bertopi sambil menyeruput wedang.
“Bicara
itu yang komplit, aku mengingatkan saja. Hari ini ada yang komplit banget dan
menghangatkan, lihat nih! Wedang rempah ini. Komposisinya: buah kapulaga, cengkeh, serai, jahe bakar,
kayu manis, secang, gula batu, madu, dan air. Ini baru komplit dan hangat,”
kata gadis bertopi ngelindur panjang lebar.
“Iklan,”
BAT ikutan menyela.
“Padahal
saya ingin dirimu tampil tanpa iklan,” ujar AP dengan wajah lucu.
Makanan
yang sudah lama mereka tunggu segera datang bersama aroma yang merangsang
selera. Gadis bertopi menanyakan, ada tambahan nasi gak? Ada, kata paman yang
meracik makanan. Bahkan ada menu pendamping sate kambing muda yang mereka sebut
sate cempe balibul. Menu utamanya mi ongklok ditambah sate kambing, ditambah
wedang rempah, ditambah tempe kemul, dan lain-lain sesuai dengan selera
masing-masing. Makanan tambahan yang lumayan lengkap.
Menu
sate cempe balibul penyelamat perutnya yang sudah menjerit minta diisi. Selera
makannya tiba-tiba melejit. Asap nasi hangat dengan sate kambing membuatnya
menahan liur. Wow, maklum orang kelaparan harus membuang basi-basi, yang memang
tidak diperlukan. Kalau diperhatikan maka menu utamanya menjadi kabur.
Mula-mula mi ongklok yang hanya diracik dengan kuah dan kecap. Kok, menu mi
ongkloknya gak disantap duluan? Atau bakalan dibungkus saja? Gadis bertopi
hanya teresenyum, merasa ada yang janggal dan lucu.
“Makanan
semua harus habis. Bagi yang tidak habis dapat dibungkus dan dibawa pulang”
ujar BAT mengingatkna teman-temannya.
“Kalau
nambah bagaimana?” ujar AK.
“Doyan
apa kelaparan?” tanya UL.
“Keduanya
menyatu,” ujar LA sambil terkekeh.
“Pak
gurumu tidak sekalian diajak makan?” tanya gadis bertopi.
“Dia
bareng sesama guru. Nanti, kita cari oleh-oleh saja untuk beliau,” ujar BAT menjawab pertanyaan gadis bertopi.
“Setelah
ini kita berjalan ke candi-candi, dan kawah belerang. Jangan lupa pakai masker,
karena bau belerangnya masing sangat menyengat. Ada yang bawa telur? Kita rebus
telur di sana. Telur yang direbus dengan air belerang khasiatnya luar biasa.
Bagi yang belum percaya nanti harus coba,” ujar BAT sambil menerangkan sesuatu
yang terdengar aneh di telinga teman-temannya.
“Setahu
saya belum ada penelitian yang berkaitan dengan telur yang direbus dengan air
belerang,” kata gadis bertopi sedikit bersikap ilmiah.
BAT
hanya tersenyum. Mengapa kalian harus serius dengan candaanku? Batin BAT
menyikapi sikap gadis bertopi.
“Sudah
tahu asal-usul nama tempat ini? Dieng konon berasal dari kata “di” yang artinya
gunung, dan “hyang” yang artinya dewa. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu,
para dewa itu bermukim di tempat yang
tinggi. Dieng berada di ketinggian 2000
di atas permukaan laut. Suhunya dingin dan menjadi tempat yang cocok merenung,
bermeditasi, dan lain-lain. Mungkin mereka menyukai tempat ini karena tanahnya
subur dan sangat baik untuk budidaya tanaman sayur, seperti kentang, kubis,
wortel, carica, dan purwaceng. Cocok sebagai tempat peristirahatan” ujar BAT
sambil berjalan-jalan memutar kompleks candi.
Tiba-tiba
BAT bertanya kepada teman-temannya, “Kalian tahu khasiat purwaceng?”
“Itu
sejenis tanaman yang berkhasiat untuk keperkasaan pria,” ujar ET yang sudah
lebih dulu mencari informasi kepada penjual purwaceng.
Matahari
sudah tinggi tetapi hawa dingin tetap menempel di kulit. Cuaca masih dingin banget. Pagi tadi suhu mencapai
minus 5 derajat Celsius. Sekarang matahari redup mengintip di balik kabut,
menemani para petani sedang menanam kentang, dan juga para pengunjung kompleks
candi. Di tempat dingin BAT dan teman-temannya pada kelupaan membawa pakaian yang
dapat menghangatkan tubuh.
Hanya
ET yang memakai jaket windbreaker dan celana kargo. Ia sudah terbiasa memakai
perlengkapan pendaki gunung. ET ini sudah beberapa kali mendaki gunung. Sebelum berangkat ET sudah menyiapkan piranti
untuk mengantisipasi cuaca dingin. Ia mengingatkan teman-temannya untuk memakai
fesyen outdoor berhawa dingin. Tapi teman-teman banyak yang lupa, sehingga
hanya membawa jaket hodie doggy dan sarung tangan.
Mereka
berhenti sejenak di sebuah musala. Sudah waktunya untuk salat zuhur. Gadis
bertopi dan teman-temannya berhenti sejenak di tempat itu untuk salat. Jaket
yang sejak tadi menepis udara dingin mereka lucuti sejenak. Mereka menyentuh
air dingin pegunungan. Rasanya mak nyes seperti salju.
Air
di tempat ini seger, dan tentu saja dingin. Mereka mendesis mendapati air yang sedingin
itu. Orang sering menyebutnya dingin-dingin empuk. Rasa penat dan payah seperti
hilang bersama aliran air. Pikirannya melayang, andaikan ada kasur hangat nan
empuk untuk tiduran. Alangkah menyenangkan.
Air
yang sejuk mampu menyegarkan otot-otot kaki setelah berjalan memutar naik dan turun. Air sejuk karunia Tuhan yang membuat musnah
rasa gerah. Berdingin ria tak mengapa, karena di antara hawa dingin masih ada
kehangatan jiwa di antara kita. Keduanya saling membutuhkan. Saat ini
teman-teman terpaksa (atau sengaja) menikmati dinginnya air pegunungan.
Saat
para pelancong dalam negeri itu beristirahat menikmati indahnya pegunungan, seorang
petani mendatangi mereka menawarkan edelweis. Bunga yang tumbuh pada ketinggian
di atas 2000 mpdl itu.
“Edelweisnya,
pak?” kata petani menawarkan dagangannya.
“Ini
edelweis legal, mas?” tanya ET yang tadi sempat dipanggil “pak”. Apakah memang
wajahnya tua mirip kakeknya? Busyet, gerutu ET.
“Beli
edelweiss untuk kenang-kenangan, dik!” kata petani menawarkan dagangannya
kepada gadis bertopi. ET mencermati pedagang edelweiss yang wajahnya tertutup masker.
“Bunga
ini tahan lama, simbol cinta dan kasih abadi,” ujar pedagang itu memulai
obrolan dengan gadis bertopi.
“Edelweis
itu diraih dengan perjuangan, menuruni jurang, mendaki bukit dan gunung. Orang
bersusah payah untuk dapat memilikinya. Itu dulu, sekarang itu tidak berlaku lagi, karena edelweiss dapat
dibeli dengan harga murah. Edelsweis hasil budidaya para petani. Walaupun ini
bunga hasil budidaya, tetapi nilai dan maknanya tetap seperti bunga yang asli
dipetik dari pegunungan yang tinggi,” kata pedagang terus mempengaruhi gadis
bertopi.
“Kebiasaan
para pendaki gunung yang memetik edelweis mulai berkurang setelah petani sukses
membudidayakan edelweis. Bunganya bahkan lebih bagus. Bila anda membeli bunga ini
berarti anda membantu petani untuk bertahan hidup. Janganlah kamu memetik edelweis
yang tumbuh di alam bebas! Itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Hayati Ekosistem pasal 33 ayat 1,” kata pedagang edelweis.
Pedagang
itu seperti bukan pedagang biasa. Perawakannya agak tinggi, memakai pakaian
anak muda yang trendi bahkan banget. Pedagang edelweis itu mengobrol lama. Apa
yang dibicarakan sepertinya asyik. Ia mengaku sebagai mahasiswa sebuah
perguruan tinggi ternama di Yogya.
“Apakah
kamu memiliki kekerabatan dengan owner mi ongklok?” tanya gadis bertopi.
“Bukan,”
jawab pedagang edelweis itu.
“Maksud
saya, bukan tidak mungkin. Banyak kemungkinan dalam hidup ini. Ada kemungkinan
kamu memborong dagangan saya ini. Ayo, belilah semua untuk kamu bagikan kepada
semua temanmu! Kamu itu gadis cantik yang pernah aku lihat. Bola matamu waduh,
bikin jantung saya bertiup kencang dan pikiranku melayang-layang. Kamu memang luar
biasa!” ujar pedagang edelweis sambil mengacungkan jempolnya.
“Aku
jadi teringat, kamu ini pedagang bunga, atau pedagang yang merangkap tukang
ramal, tukang rayu?,” ujar gadis bertopi sedikit kesal.
“Apakah
kamu merasakan saya ini seperti yang kamu pikirkan?”
Gadis
bertopi itu mengangkat topi. Ada sorot tajam di matanya. Pada bola matanya yang
bening itu tampak sangat bening. Gadis itu sedang mengendalikan pikirannya. Ada
sesuatu yang harus segera dia temukan jawabannya. Dia pikir ini soal ulangan bentuk
uraian yang sering ia jumpai di sekolahnya. Soal uraian yang sulit.
Soal
uraian itu dalam bentuk pertanyaan: Siapa dia? Ada kalimat stimulus: Gadis
bertopi menangkap kejanggalan pada diri pedagang edelweis yang ia jumpai.
Menurut informasi yang ia dapat, antara edelweis, pedagang bunga, mi ongklok,
dan orang yang menraktirnya pada hakikatnya merupakan orang yang sama. Tapi
sampai waktu yang ia miliki sudah berakhir, jawaban itu tidak atau belum dia
temukan. ***