Just another free Blogger theme

Senin, 19 Juni 2017




EUFEMISME DALAM KONTEKS KESANTUNAN BERBAHASA
Oleh Yudi Karsono*)
A.              Pendahuluan
Masyarakat Indonesia sudah terkenal di dunia sebagai masyarakat yang ramah, santun, mudah tersenyum, memiliki perasaan halus, dan toleran. Perilaku menahan diri sudah menjadi ciri khas warganya. Sikap ramah dan santun ini dipengaruhi oleh tradisi  masyarakat yang terikat dengan berbagai unggah-ungguh atau tata krama. Khususnya masyarakat Jawa,  dan masyarakat Indonesia pada umumnya Warganya masih kuat memegang “adat ketimuran”.  Sikap hormat, pakewuh kepada orang tua, atasan atau orang-orang yang dianggap penting masih terus terpelihara dan teraktualisasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari .
Saat ini (dan sebenarnya juga sudah sejak lama) masyarakat kita dihadapkan pada permasalahan KKN. Masalah yang datang silih berganti bagaikan sinetron-sinetron di televisi. Andaikan bangsa ini sebuah keluarga, maka anggota keluarga tentu tidak etis mengumbar aibnya. Blak-blakan menertawakan kebodohan kita di depan umum oleh sesama anak bangsa. “Kesuksesan” oknum dalam berbuat “jahat” menjadi pelajaran berharga bagi warga lainnya. Pelajaran agar kita tidak berbuat serupa seperti mereka. Kita berusaha untuk lebih banyak berkarya nyata untuk kemajuan bangsa.
Sesungguhnya kesantunan dalam bertutur tidak dapat atau kurang tepat disamakan begitu saja dengan basa-basi. Nilai keramahan dan kesantunan tidak dapat disamakan dengan kalimat yang berputar-putar, tidak jelas juntrungnya. Keramahan dan kesantunan yang tercermin dari cara bertutur sangat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang orang lain.
Penggunaan kosa kata yang tidak menyinggung martabat dan harga diri orang lain memiliki peranan penting dalam berinteraksi dengan sesama. Penggunaan eufemisme dalam aktifitas sehari-hari dapat disesuaikan dengan kebutuhannya. Bahasa yang baik dapat turut serta memperbaiki keadaan. Kenyataan yang bias dan suram sebagai “penyakit sosial”  dapat terobati dengan resep atau cara pengobatan yang tepat. Diharapkan tidak perlu terjadi perlakuan yang salah, atau “salah obat” dalam mengobati berbagai macam penyakit. Harapannya sembuh dari  penyakit kerengganagan sosial yang muncul di masyarakat.

Eufemisme dalam Konteks Kesantunan Berbahasa
Eufemisme  ini nyata indah dan sering terjadi. Orang melakukannya dalam berbagai situasi dan kondisi. Mungkin dianggap semu atau sekedar basa-basi. Namun penggunaan yang tepat dapat merekatkan pergaulan dan persaudaraan. Bagaimana contoh eufemisme dalam konteks kesantunan berbahasa dalam masyarakat?
Cara kita mengungkapkan sesuatu hakikatnya sedang mengeluarkan isi hati, dengan memakai kata yang kita gunakan  dan secara halus atau sebaliknya. Kita dapat  mengungkapkan sesuatu, misalnya dengan memakai deskripsi yang menyemangati. Pilihan kata secara konotasi atau sebaliknya, dalam bentuk kata-kata yang halus, sopan, dan sebagainya menjadi pilihan yang menarik. Cara seperti itu memberikan kesan apa yang sedang terjadi ternyata berjalan sesuai batas-batas yang wajar.
Dalam kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas halaman 402 menyebutkan eufemisme /éufemisme/ adalah gaya bahasa pelembut dengan cara menggantikan kata-kata dengan kata lain yang lebih sesuai dan tidak menyinggung perasaan. Eufemisme akan mengungkapkannya lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar. Contoh : "Di mana 'tempat kencing'-nya?" dapat diganti dengan "Di mana 'kamar kecil'-nya?". Kata "tempat kencing"(dalam bahasa sehari-hari biasa juga disebut WC) tidak cocok jika akan digunakan untuk percakapan yang sopan. Kata "kamar kecil" dapat menggantikannya. Kata "kamar kecil" ini konotasinya lebih sopan daripada kata "tempat kencing". Jadi dalam eufemisme terjadi pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih sopan
Tulisan ini berusaha mengungkapkan eufemisme yang sering muncul dan dijumpai dalam masyarakat. Sebuah langkah untuk menghilangkan gambaran yang sesungguhnya tidak bermanfaat. Lawan dari kesantunan sangat tidak etis, bobrok, dan unfaedah. Proses memberikan nama indah untuk sesuatu yang nyatanya busuk atau munafik, telah menyebabkan kesan negatif terhadap eufemisme. Ini dapat dinamakan salah guna eufemisme. Namun ada sisi positif eufemisme yang tentu saja bermanfaat untuk menyajikan  kesantunan kepada sesama.
Kita ingat bahwa tidak ada satu benda pun memiliki nama yang tidak bermafaat. Seorang petugas kebersihan bukanlah ‘benar-benar’ pemulung yang dekil dan miskin. Dia lebih dari seorang pahlawan kebersihan. Eufemisme memengaruhi cara kita merasakannya. Bukan pemulung tetapi pengusaha “barang daur ulang”. Lebih susah menjual kue yang terbuat dari singkong dibandingkan pizza. Dengan sentuhan sedikit keju, walaupun keduanya adalah makanan yang beda kelas. Kita mungkin akan lebih suka menikimati singkong dibandingkan pizza karena faktor kebiasaan. Tampaknya manusia secara alamiah akan mengidentifikasi apa yang dilihat dan menjadi kebiasaan. Itulah yang lebih berkesan.
Seperti iklan di televisi membuat kita menyukai. Hampir semua barang yang tak kita butuhkan (yang mereka tawarkan) menjadi begitu berharga dan menarik. Akan tetapi di saat mereka menggunakan eufemisme yang menjadi cara cerdas untuk menyikapi perilaku konsumtif. Seorang petugas kebersihan yang menginginkan kita untuk menyebutnya pahlawan kebersihan. Ia berharap agar kita dapat lebih menghormatinya, dan melihatnya sebagai bagian penting dalam masyarakat. Namun eufemisme yang kita gunakan akan menjadi bahan tertawaan jika dia memang tidak pantas menerima rasa hormat itu. Seperti guru yang lebih memilih menggunakan istilah ‘anak-anak berkebutuhan khusus’ dibandingkan dengan ‘anak-anak cacat’ sebagai upaya penghalusan kata. Upaya untuk mendorong kita melihat situasi yang berbeda, yakni situasi yang lebih indah dan sopan.
Intinya bahwa tidak ada sesuatu yang rendah dalam proses penggunaan eufemisme. Eufemisme menjadi rendah jika digunakan dalam konteks-konteks tertentu yang membuat kita melihat sesuatu yang palsu dan munafik. Sesuatu yang tidak sama dengan kenyataannya. Penyebutan ‘anak-anak gelandangan’ sebagai ‘anak-anak tuna wisma’ merupakan sesuatu yang lain. Penyebutan tersebut dimaksudkan untuk menghindari perasaan diasingkan dalam diri anak-anak tersebut. Mereka tidak boleh tercerabut dari lingkungannya.
Eufemisme akan mempunyai kesan jika ditempatkan pada tempatnya. Mungkin saja seorang guru menggunakan istilah ‘anak-anak gelandangan’ dengan istilah ‘anak-anak tuna wisma’. “Rumah sakit jiwa” mungkin lebih berkesan daripada “rumah sakit orang gila”. Penjara akan disebut dengan ‘lembaga pemasyarakatan’, tahanan dengan ruang isolasi, dan seterusnya. Meskipun demikian, eufemisme mungkin dipandang sebagai salah satu sumber inspirasi untuk menciptakan suasana yang menggembirakan. Contoh lain yang mungkin akan muncul adalah menyebut pedagang dengan pengusaha, tukang tagih dengan debt collector, babu dengan asisten rumah tangga (ART), dan lain-lain.
Ide kuncinya adalah bahwa eufemisme menjadi alat budaya mengubah kesan, gaya, prioritas, dan nilainya. Mengatakan bahwa seseorang telah ‘mampus’ tidak berarti mengatakannya dengan lebih datar dan jujur dibandingkan dengan mengatakan meninggal, wafat, atau pulang ke rahmatullah. Di lain pihak, orang-orang yang menyebut ‘amplop’ sebagai ‘insentif’ atau apalah namanya. Namun dalam dua kata tersebut terkandung perbedaan dalam hal perlakuan terhadap seseorang berkaitan dengan kepantasan. Dimensi moral yang terkandung adalah kata-kata yang diucapkan untuk kesantunan.

Contoh Eufemisme dalam Kontek Kesantuan Berbahasa
Kata/Istilah
Eufemisme
anak cacat
anak berkebutuhan khusus (abk)
anak-anak miskin
anak-anak kurang mampu
keluarga miskin
keluarga prasejahtera, keluarga harapan
antek
kawan
berak, kencing
buang air besar/kecil
berfoya-foya
dugem (dunia gemerlap)
bodoh
belum pintar
bui, penjara
lembaga pemasyarakatan, hotel prodeo
ditangkap
diamankan
goblok, telmi, idiot
belum paham
guru
kyai, ustadz,
kawasan merah
daerah berbahaya
kenaikan tarif listrik
normalisasi tarif listrik
kolot
lama
lonte, pelacur, sundal
pekerja seks komersial (psk)
mampus
meninggal, wafat
pelayan 2 tempat suci
raja arab saudi
pelayan masyarakat
pegawai pemerintah
pengamen
penyanyi
pengangguran
belum punya pekerjaan
politisi  tua/gaek
politisi senior
sogokan, suap, pelicin
amplop, angpao
tua bangka
senior

Penggunaan eufemisme dalam interaksi sosial memiliki kelebihan dan kekurangan.  Pengguna eufemisme diharapkan menyelamatkannya kita dari perilaku kasar dan kurang bermartabat. Ini memang tidak dapat disamakan dengan orang yang menyukai sikap blak-blakan, dan tanpa basa-basi. Misal, istilah “pelacur” tampaknya tidak manusiawi dan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, maka kemudian dibuat penghalusan kata menjadi pekerja seks komersial (PSK). Kosa kata yang dianggap kasar seperti “pelacur” atau “lonte” bagi para PSK sendiri sepertinya sudah diterima secara luas. Istilah “pekerja” memungkinkan para “pelacur” ini berserikat seperti kaum pekerja yang lain?
Penggunaan eufemisme dalam konteks kesantunan berbahasa dapat dilihat untuk para penyandang cacat agar lebih bermartabat dan enak didengar, dengan penggunaan istilah ‘anak berkebutuhan khusus’, mengganti kata cacat dengan disabilitas. Sebutan penyandang disabilitas dan penyandang difabel tidak perlu diperdebatkan lagi. Makna yang lebih santun untuk istilah difabel sudah diperkuat dengan UU No. 8 Tahun 2016. Penyandang disabilitas mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama. Sekarang ia dapat dan memiliki kesempatan luas untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif sebagaimana warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Tidak mengherankan dalam penerimaan CPNS di instansi pemerintah penyandang disabilitas atau difabel diberi formasi khusus sebagai bentuk persamaan hak warga negara.
Fenomena penghalusan kata atau eufemisme juga merambah lingkaran birokrasi di instansi-instansi formal maupun non formal. Bukan rahasia lagi seseorang yang ingin menduduki atau meraih jabatan tertentu harus mengeluarkan uang yang disebut “money poitic” mulai dari ratusan juta sampai dengan milyaran rupiah. Keinginan menduduki jabatan-jabatan tertentu baik itu sipil, non sipil, sosial dan politik dipengaruhi oleh uang. “Suap” ini hakikatnya melanggar norma-norma sosial dan agama, tetapi  oknum pelaku tidak menghindarinya. Para politisi menggunakan eufemisme untuk berkampanye seperti membagi-bagikan uang. Supaya orang memilih dirinya. Maka muncul kosa kata “money politic”. Semua bentuk suap berimplikasi negatif dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Kesimpulan
Penggunaan eufemisme dalam berinteraksi secara sosial menjadi bentuk keramahan atau kesopanan.  Orang yang memiliki kecerdasan inter personal, lingual verbal dan intra personal memiliki banyak kawan. Ia tidak lupa menyelipkan eufemisme dalam interaksinya dengan berbagai kalangan. Pengusaha sukses, politisi sukses, guru sukses salah satu penopangnya yaitu kesantunan. Pandai dalam berkomunikasi verbal atau menggunakan bahasa yang ramah “menyejukkan” hati masyarakat. Penggunaan bahasa yang ramah, sopan dan tidak vulgar merupakan bentuk eufemisme bahasa.


*) Yudi Karsono, S.Pd.,M.Pd. 
Penulis bekerja sebagai Pengawas Sekolah di Koorwilcam Dindikbud Mrebet, Purbalingga 53351
Jawa Tengah







DAFTAR PUSTAKA

Sugono, Dendy. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Depdiknas: Jakarta
Hassanuddin, W.S. 2007. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu.
http://id.wikipedia.org/wiki/Eufemisme up date tanggal 11 November 2011 pukul 08.45
Eschicholz, Paul.1987. Language Awareness. Jakarta: Gramedia