EUFEMISME DALAM KONTEKS KESANTUNAN BERBAHASA
Oleh Yudi Karsono*)
A. Pendahuluan
Masyarakat Indonesia sudah terkenal di dunia sebagai masyarakat
yang ramah, santun, mudah tersenyum, memiliki perasaan halus, dan toleran. Perilaku
menahan diri sudah menjadi ciri khas warganya. Sikap ramah dan santun ini dipengaruhi
oleh tradisi masyarakat yang terikat
dengan berbagai unggah-ungguh atau tata krama. Khususnya masyarakat Jawa, dan masyarakat Indonesia pada umumnya Warganya
masih kuat memegang “adat ketimuran”. Sikap hormat, pakewuh kepada
orang tua, atasan atau orang-orang yang dianggap penting masih terus terpelihara
dan teraktualisasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari .
Saat ini (dan sebenarnya juga sudah sejak lama) masyarakat kita dihadapkan
pada permasalahan KKN. Masalah yang datang silih berganti bagaikan
sinetron-sinetron di televisi. Andaikan bangsa ini sebuah keluarga, maka
anggota keluarga tentu tidak etis mengumbar aibnya. Blak-blakan menertawakan
kebodohan kita di depan umum oleh sesama anak bangsa. “Kesuksesan” oknum dalam
berbuat “jahat” menjadi pelajaran berharga bagi warga lainnya. Pelajaran agar kita
tidak berbuat serupa seperti mereka. Kita berusaha untuk lebih banyak berkarya
nyata untuk kemajuan bangsa.
Sesungguhnya kesantunan dalam bertutur tidak dapat atau kurang
tepat disamakan begitu saja dengan basa-basi. Nilai keramahan dan kesantunan
tidak dapat disamakan dengan kalimat yang berputar-putar, tidak jelas
juntrungnya. Keramahan dan kesantunan yang tercermin dari cara bertutur sangat
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang orang lain.
Penggunaan kosa kata yang tidak menyinggung martabat dan harga
diri orang lain memiliki peranan penting dalam berinteraksi dengan sesama. Penggunaan
eufemisme dalam aktifitas sehari-hari dapat disesuaikan dengan
kebutuhannya. Bahasa yang baik dapat turut serta memperbaiki keadaan. Kenyataan
yang bias dan suram sebagai “penyakit sosial” dapat terobati dengan resep
atau cara pengobatan yang tepat. Diharapkan tidak perlu terjadi perlakuan yang
salah, atau “salah obat” dalam mengobati berbagai macam penyakit. Harapannya
sembuh dari penyakit kerengganagan
sosial yang muncul di masyarakat.
Eufemisme
dalam Konteks Kesantunan Berbahasa
Eufemisme ini nyata indah dan sering terjadi.
Orang melakukannya dalam berbagai situasi dan kondisi. Mungkin dianggap semu
atau sekedar basa-basi. Namun penggunaan yang tepat dapat merekatkan pergaulan
dan persaudaraan. Bagaimana contoh eufemisme dalam konteks kesantunan berbahasa
dalam masyarakat?
Cara kita mengungkapkan sesuatu hakikatnya sedang
mengeluarkan isi hati, dengan memakai kata yang kita gunakan dan secara halus atau sebaliknya. Kita dapat mengungkapkan sesuatu, misalnya dengan memakai
deskripsi yang menyemangati. Pilihan kata secara konotasi atau sebaliknya, dalam
bentuk kata-kata yang halus, sopan, dan sebagainya menjadi pilihan yang menarik.
Cara seperti itu memberikan kesan apa yang sedang terjadi ternyata berjalan
sesuai batas-batas yang wajar.
Dalam kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan
oleh Pusat Bahasa Depdiknas halaman 402 menyebutkan eufemisme /éufemisme/ adalah
gaya bahasa pelembut dengan cara menggantikan kata-kata dengan kata lain yang
lebih sesuai dan tidak menyinggung perasaan. Eufemisme akan
mengungkapkannya lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar.
Contoh : "Di mana 'tempat kencing'-nya?" dapat diganti dengan
"Di mana 'kamar kecil'-nya?". Kata "tempat kencing"(dalam
bahasa sehari-hari biasa juga disebut WC) tidak cocok jika akan digunakan untuk
percakapan yang sopan. Kata "kamar kecil" dapat menggantikannya. Kata
"kamar kecil" ini konotasinya lebih
sopan daripada kata "tempat kencing". Jadi dalam eufemisme terjadi
pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih sopan
Tulisan ini berusaha mengungkapkan eufemisme
yang sering muncul dan dijumpai dalam masyarakat. Sebuah langkah untuk
menghilangkan gambaran yang sesungguhnya tidak bermanfaat. Lawan dari
kesantunan sangat tidak etis, bobrok, dan unfaedah. Proses memberikan
nama indah untuk sesuatu yang nyatanya busuk atau munafik, telah menyebabkan
kesan negatif terhadap eufemisme. Ini dapat dinamakan salah guna eufemisme.
Namun ada sisi positif eufemisme yang tentu saja bermanfaat untuk
menyajikan kesantunan kepada sesama.
Kita ingat bahwa tidak ada satu benda pun
memiliki nama yang tidak bermafaat. Seorang petugas kebersihan bukanlah
‘benar-benar’ pemulung yang dekil dan miskin. Dia lebih dari seorang pahlawan
kebersihan. Eufemisme memengaruhi cara kita merasakannya. Bukan pemulung
tetapi pengusaha “barang daur ulang”. Lebih susah menjual kue yang terbuat dari
singkong dibandingkan pizza. Dengan sentuhan sedikit keju, walaupun
keduanya adalah makanan yang beda kelas. Kita mungkin akan lebih suka
menikimati singkong dibandingkan pizza karena faktor kebiasaan.
Tampaknya manusia secara alamiah akan mengidentifikasi apa yang dilihat dan
menjadi kebiasaan. Itulah yang lebih berkesan.
Seperti iklan di televisi membuat kita menyukai.
Hampir semua barang yang tak kita butuhkan (yang mereka tawarkan) menjadi
begitu berharga dan menarik. Akan tetapi di saat mereka menggunakan eufemisme
yang menjadi cara cerdas untuk menyikapi perilaku konsumtif. Seorang petugas
kebersihan yang menginginkan kita untuk menyebutnya pahlawan kebersihan. Ia
berharap agar kita dapat lebih menghormatinya, dan melihatnya sebagai bagian
penting dalam masyarakat. Namun eufemisme yang kita gunakan akan menjadi
bahan tertawaan jika dia memang tidak pantas menerima rasa hormat itu. Seperti
guru yang lebih memilih menggunakan istilah ‘anak-anak berkebutuhan khusus’
dibandingkan dengan ‘anak-anak cacat’ sebagai upaya penghalusan kata. Upaya
untuk mendorong kita melihat situasi yang berbeda, yakni situasi yang lebih
indah dan sopan.
Intinya bahwa tidak ada sesuatu yang rendah
dalam proses penggunaan eufemisme. Eufemisme menjadi rendah jika
digunakan dalam konteks-konteks tertentu yang membuat kita melihat sesuatu yang
palsu dan munafik. Sesuatu yang tidak sama dengan kenyataannya. Penyebutan
‘anak-anak gelandangan’ sebagai ‘anak-anak tuna wisma’ merupakan sesuatu yang
lain. Penyebutan tersebut dimaksudkan untuk menghindari perasaan diasingkan
dalam diri anak-anak tersebut. Mereka tidak boleh tercerabut dari
lingkungannya.
Eufemisme akan mempunyai kesan jika ditempatkan pada
tempatnya. Mungkin saja seorang guru menggunakan istilah ‘anak-anak gelandangan’
dengan istilah ‘anak-anak tuna wisma’. “Rumah sakit jiwa” mungkin lebih
berkesan daripada “rumah sakit orang gila”. Penjara akan disebut dengan
‘lembaga pemasyarakatan’, tahanan dengan ruang isolasi, dan seterusnya.
Meskipun demikian, eufemisme mungkin dipandang sebagai salah satu sumber
inspirasi untuk menciptakan suasana yang menggembirakan. Contoh lain yang
mungkin akan muncul adalah menyebut pedagang dengan pengusaha, tukang tagih
dengan debt collector, babu dengan asisten rumah tangga (ART), dan
lain-lain.
Ide kuncinya adalah bahwa eufemisme menjadi
alat budaya mengubah kesan, gaya, prioritas, dan nilainya. Mengatakan bahwa
seseorang telah ‘mampus’ tidak berarti mengatakannya dengan lebih datar dan
jujur dibandingkan dengan mengatakan meninggal, wafat, atau pulang ke
rahmatullah. Di lain pihak, orang-orang yang menyebut ‘amplop’ sebagai ‘insentif’
atau apalah namanya. Namun dalam dua kata tersebut terkandung perbedaan dalam
hal perlakuan terhadap seseorang berkaitan dengan kepantasan. Dimensi moral
yang terkandung adalah kata-kata yang diucapkan untuk kesantunan.
Contoh Eufemisme dalam
Kontek Kesantuan Berbahasa
Kata/Istilah
|
Eufemisme
|
anak cacat
|
anak berkebutuhan
khusus (abk)
|
anak-anak miskin
|
anak-anak kurang mampu
|
keluarga miskin
|
keluarga prasejahtera,
keluarga harapan
|
antek
|
kawan
|
berak, kencing
|
buang air besar/kecil
|
berfoya-foya
|
dugem (dunia gemerlap)
|
bodoh
|
belum pintar
|
bui, penjara
|
lembaga pemasyarakatan,
hotel prodeo
|
ditangkap
|
diamankan
|
goblok, telmi, idiot
|
belum paham
|
guru
|
kyai, ustadz,
|
kawasan merah
|
daerah berbahaya
|
kenaikan tarif listrik
|
normalisasi tarif
listrik
|
kolot
|
lama
|
lonte, pelacur, sundal
|
pekerja seks komersial
(psk)
|
mampus
|
meninggal, wafat
|
pelayan 2 tempat suci
|
raja arab saudi
|
pelayan masyarakat
|
pegawai pemerintah
|
pengamen
|
penyanyi
|
pengangguran
|
belum punya pekerjaan
|
politisi tua/gaek
|
politisi senior
|
sogokan, suap, pelicin
|
amplop, angpao
|
tua bangka
|
senior
|
Penggunaan eufemisme dalam interaksi
sosial memiliki kelebihan dan kekurangan. Pengguna eufemisme
diharapkan menyelamatkannya kita dari perilaku kasar dan kurang bermartabat.
Ini memang tidak dapat disamakan dengan orang yang menyukai sikap blak-blakan,
dan tanpa basa-basi. Misal, istilah “pelacur” tampaknya tidak manusiawi dan
sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, maka kemudian dibuat penghalusan
kata menjadi pekerja seks komersial (PSK). Kosa kata yang dianggap kasar seperti
“pelacur” atau “lonte” bagi para PSK sendiri sepertinya sudah diterima secara
luas. Istilah “pekerja” memungkinkan para “pelacur” ini berserikat seperti kaum
pekerja yang lain?
Penggunaan eufemisme
dalam konteks kesantunan berbahasa dapat dilihat untuk para penyandang cacat agar
lebih bermartabat dan enak didengar, dengan penggunaan istilah ‘anak
berkebutuhan khusus’, mengganti kata cacat dengan disabilitas.
Sebutan penyandang disabilitas dan penyandang difabel tidak
perlu diperdebatkan lagi. Makna yang lebih santun untuk istilah difabel
sudah diperkuat dengan UU
No. 8 Tahun 2016. Penyandang disabilitas mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama. Sekarang ia dapat
dan memiliki kesempatan luas untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif sebagaimana
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Tidak mengherankan dalam
penerimaan CPNS di instansi pemerintah penyandang disabilitas atau difabel
diberi formasi khusus sebagai bentuk persamaan hak warga negara.
Fenomena penghalusan kata atau eufemisme
juga merambah lingkaran birokrasi di instansi-instansi formal maupun non formal.
Bukan rahasia lagi seseorang yang ingin menduduki atau meraih jabatan tertentu
harus mengeluarkan uang yang disebut “money poitic” mulai dari ratusan juta
sampai dengan milyaran rupiah. Keinginan menduduki jabatan-jabatan tertentu
baik itu sipil, non sipil, sosial dan politik dipengaruhi oleh uang. “Suap” ini
hakikatnya melanggar norma-norma sosial dan agama, tetapi oknum pelaku
tidak menghindarinya. Para politisi menggunakan eufemisme untuk
berkampanye seperti membagi-bagikan uang. Supaya orang memilih dirinya. Maka
muncul kosa kata “money politic”. Semua bentuk suap berimplikasi negatif
dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Kesimpulan
Penggunaan eufemisme dalam berinteraksi
secara sosial menjadi bentuk keramahan atau kesopanan. Orang yang
memiliki kecerdasan inter personal, lingual verbal dan intra
personal memiliki banyak kawan. Ia tidak lupa menyelipkan eufemisme
dalam interaksinya dengan berbagai kalangan. Pengusaha sukses, politisi sukses,
guru sukses salah satu penopangnya yaitu kesantunan. Pandai dalam berkomunikasi
verbal atau menggunakan bahasa yang ramah “menyejukkan” hati masyarakat.
Penggunaan bahasa yang ramah, sopan dan tidak vulgar merupakan bentuk eufemisme
bahasa.
*) Yudi Karsono,
S.Pd.,M.Pd.
Penulis bekerja sebagai Pengawas Sekolah di Koorwilcam Dindikbud Mrebet, Purbalingga 53351
Jawa Tengah
Penulis bekerja sebagai Pengawas Sekolah di Koorwilcam Dindikbud Mrebet, Purbalingga 53351
Jawa Tengah
DAFTAR PUSTAKA
Sugono, Dendy. 2008. Kamus Bahasa
Indonesia. Pusat Bahasa Depdiknas: Jakarta
Hassanuddin,
W.S. 2007. Ensiklopedi Sastra Indonesia.
Bandung: Titian Ilmu.
http://id.wikipedia.org/wiki/Eufemisme
up date tanggal 11 November 2011
pukul 08.45
Eschicholz, Paul.1987. Language Awareness. Jakarta: Gramedia
0 komentar:
Posting Komentar