Di pojok kantin kampus, sering hadir sosok (?) yang membuat penasaran siapapun yang melihat. Dengan
celana jeans belel and sepatu kets branded,
ia terlihat keren. Gayanya
sangat santai menikmati sarapan pagi yang terlambat, karena sekarang sudah pukul 10.00. Kemeja yang dipakainya
rapi, dan itu menjadi salah satu yang
menarik. Wajah misterius,
tak perlu tanda kutip tentunya, berpadu dengan aura melankolis seperti sesuatu
yang saling melengkapi.
Sesaat kemudian ia berdiri untuk menggeser tempat duduk. Tingginya sedang, tampak kurus, terbukti dari
jari-jemarinya dan jam tangan yang terlalu longgar di tangannya. Ada tai lalat
di pipi kanan agak ke bawah. Aku tidak tahu mengapa ia sering sarapan pagi di tempat itu.
Adakah
yang mau menceritakan sesuatu tentang perempuan itu?
“Siapa perempuan itu? Pesona wajahnya liar biasa,” kata Tom memancing
rasa penasaran Doni.
“Kamu sok tahu saja.
Memangnya kenapa dengan perempuan
itu? Apa ia memerlukan dirimu? Apa ia
mengenalmu?” kata Doni meragukan perkataan temannya.
“Perempuan
itu blasteran Jawa-Prancis. Perhatikan dia, bro Don! Alis dan hidungnya ikut Prancis,
matanya ikut Jawa,” kata Tom tahu memberikan gambaran sosok yg sedang diperbincangkan.
“Apa iya?
Kok, sepertinya biasa-biasa saja,” sanggah Doni.
“Coba kamu mendekat dan duduk di sana! Kau akan melihat apa yang kukatakan barusan,” kata Tom sambil menunjuk ke kantin.
Hari-hari
di bulan November ditandai langit berawan, berkabut, kadang pagi, kadang petang. Langit
berawan kemudian gerimis panjang mulai pagi hingga petang, malam
sampai pagi. Suasana dingin pagi meliputi aktifitas banyak orang yang
hampir tak terusik, sebagian lainnya asyik bermalas-malasan di rumah menunggu
munculnya matahari. Jadwal kegiatan tetap berjalan walaupun gerimis menemani
wira-wiri banyak orang sesuai jadwal yang tengah dirancangnya.
Bagi
yang tidak ada jadwal kegiatan, kantin menjadi tempat yang asyik untuk
nongkrong. Cari yang hangat-hangat. Pesan susu atau teh, dilengkapi dengan
makanan kecil. Itu yang dapat dinikmati sendiri atau ngajak teman. Duduk-duduk
di kantin menggunakan waktu luang memang asyik. Paling tidak menikmati ramahnya
penjaga kantin. Banyak yang tidak tahun namanya. Mereka yang datang hanya fokus
pada berbagai menu yang ada di kantin itu, Mungkin, mungkin ya, Doni dan Tom
yang sering mengamati penampilan pelayan atau pemilik kantin itu. Sebenarnya
biasa saja, mungkin yang istimewa dari kantin ini pelanggannya ternyata tidak boleh
ngutang.
Tom terdiam sambil
memandang gerimis dan kabut di luar
kantin.Tom melepas pandangan yang melesat jauh, dan itu seperti
pandangan terjauh yang pernah aku lihat. Ada
yang akan dikatakan Tom tentang sesuatu yang berkaitan dengan pengalamannya. Ada
yang aku suka darinya, dari mahkluk langka ini, karena ia termasuk orang yang
banyak tahu tentang teman-teman mahasiswa di sini, nomor-nomor rumah yang
menjadi tempat-tempat kos yang ada di seputar kampus, jalan-jalan, gang-gang
sempit dengan karakteristik masing-masing. Kok, mampu segitunya, ya? Seperti
orang kurang kerjaan saja. Lebih ajib lagi, Tom tahu juga teman-teman yang
banyak utang di kantin-kantin. Ini tentang misteri kehidupan, sebagian
kecilnya, jelas Tom suatu hari sambil tidak lupa untuk nyengir.
Tom
memulai ceritanya dengan menyebut sebuah tempat yang agak jauh dari kampus. Ada
sebuah gang yang tidak terlalu lebar tetapi tidak terlalu sempit. Gang itu
sering dijadikan tempat main bola anak-anak karena di sekitar hunian memang
tidak ada lapangan bola atau tempat yang lapang. Di dekat gang memang ada
lapangan tempat main tenis para dosen yang tertutup dari orang-orang umum di
sekitarnya. Main bola di gang sering mengganggu para pengguna jalan. Anak-anak
yang main bola di gang mengaku mendapatkan sensasi yang luar biasa, meski serin
kena marah tetapi mereka tidak kapok. Bermain bola di jalan sangat mengganggu
kepentingan umum dan mereka menyadari akan kesalahannya itu. Mungkin perlu
dicarikan solusi tanah lapang untuk menyalurkan hobi mereka. Sampai sejauh ini
belum ada yang melarang sepak bola di gang tersebut. Permainan sepak bola di
gang tersebut sudah viral. Anehnya gang yang tidak terlalu luas tetapi dikenal
luas itu ternyata belum ada namanya.
Ada
hunian yang representatif di ujung gang tersebut, dekat kali yang airnya keruh,
kotor, dan bau. Rumah yang banyak didirikan tempat itu banyak ditinggali oleh
orang-orang yang jauh. Ada yang menyewa atau hanyak tinggal sebagai anak kos
yang membayar kamar setiap bulan atau setahun sekali. Lokasi yang strategis dan
pemandangan alam yang tampak indah mempesona siapapun yang datang ke sana.
Tanah-tanah di daerah itu sudah banyak didirikan tempat-tempat penginapan, yang
dimiliki orang-orang berkantong tebal.
Penduduk sekitar banyak yang jadi penjaganya saja. Iming-iming segepok uang
yang membuat tanah-tanah di tempat itu hampir seluruhnya menjadi milik orang di
luar daerah aslinya.
Siang ini langit utara berselimut awan. Sekali-sekali suara guruh di langit beriringan dengan
cahaya berkilatan. Tom hanya memandang ke luar jendela. Hujan rintik-rintik
menyapu gadung-gedung yang tak pernah merunduk. Saat hujan turun serasa meredam
gundah, seperti tanah kering dan jati meranggas ditempa
kemarau panjang kembali meraih kehidupan. Aku masih duduk di beranda sambil menunggu teman yang
membawa kunci pintu kamar.
“Pulang, bro?” tanya Tom keras-keras. Aku
menengok ke arah suara. Tampak sepotong wajah anak muda di balik jendela, itu
Tom dan temannya. Satu kebiasaan yang selalu kuingat dari kawanku ini,
selalu nyengir usai menyapa. Siapa itu yang bersamaTom? Doni belum
tahu asal-usul anak itu.. Saat ini yang aku ketahui Tom itu anak muda yang banyak temannnya, suka
bergaul dan pintar.
“Tumben
ramah sekali denganku? Jangan-jangan ada sesuatu?” Doni bertanya bernada curiga.
“Don, sebulan aku menempati rumah
kos baru. Rumah kecil di ujung jalan
kecil. Ada puluhan pohon randu di sepanjang jalan itu. Saya tidak tahu persis kenapa dan bagaimana di kota
besar ini masih ada pohon randu, bukannya pohon asam atau pohon yang lambat
pertumbuhannya. Konon, tanaman itu untuk mengenang anak Pak RT yang hilang di
pedalaman Kalimantan saat mengikuti KKN. Pohon randu yang ditanam berderet. Satu,
dua, tiga, empat, lima … dua puluh.
Itu simbol usia terakhir anak Pak RT yang hilang. Pohon
yang ke-18 tepat berada di samping asrama,” kata-kata Tom berlagak cermat. Asal
tahu saja, pohon randu di sepanjang jalan ini memang ada dua puluh.
“Seminggu yang lalu aku
bersepeda pagi-pagi meyusuri jalan D, memutar ke jalan E, membelok ke jalan F,
menuruni jalan G dan berhenti di jalan H. Kamu pengin tahun hasilnya?” kata Tom
sambil memperlihatkan kameranya.
“Tidak. Ada yang
istimiewa?” tanya Doni.
“Ayo mampir! Nanti aku
perlihatkan,” katanya semakin membuat penasaran.
“Tentang gadis itu?”
“Lihat saja nanti,”
kata Tom menunjukkan samrtphone canggihnya.
“Itu gadis yang pernah
kau lihat di kantin kampus? Lalu apa hebatnya?” tanyaku penasaran.
“Soal itu belum dapat
saya jelaskan?” nerocos mulut Tom seperti kebiasaannya.
“Lalu apa hubungannya perempuan di kantin itu, Tom?
Kau sudah membongkar rahasianya? Hah,
itu hanya skenario sebuah sinetron saja,” tanya
Doni berusaha menghentikan pembicaraan Tom.
“Tidak usah menaruh
curiga, Don. Kau belum tahu siapa dia
sebenarnya,” kata Tom seperti menyimpan sebuah teka-teki.
Tom memang tidak
memberi informasi yang lebih tentang seorang
perempuan yang ada di fotonya kemarin. Misteri apa yang
sedang dibawa Tom? Apakah perempuan itu
itu buronan polisi yang berkaitan dengan peredaran narkoba di kalangan
mahasiswa? Atau mungkin mucikari yang disinyalir berkeliaran di kampus ini?
Atau siapa dia sebenarnya?
Seperti pagi
sebelumnya, jarang anak-anak kos di sini bangun kesiangan. Pagi-pagi di depan kos pasti diramaikan
orang yang lari-lari kecil, sendiri, berdua, bertiga, rombongan, atau naik
sepeda beramai-ramai. Suasana seperti itu selalu mengiringi pagi Tom dan yang
lainnya. Suasana yang ceria, meriah, dan
penuh keakraban. Menikmati bubur ayam di bawah pohon randu akan memunculkan
rasa rindu. Siapa yang membuatmu kangen? Pertama, tentu saja sepatumu yang
lusuh tak pernah ganti. Kedua, obrolan santai dan cita rasa bubur ayam yang
nikmat.
Tom berangkat dari rumahnya ke kampus dengan
semangat. Motornya merayap diiringi gerimis kecil dan kabut tipis, melaju tak
lebih dari 60 kilometer perjam. Paling menyebalkan konvoi truk, bis besar, angkutan, kendaraan pribadi,
dan sederet motor. Tepat di depan Tom, mobil sedan
putih
tulang melaju hati-hati. Melihat plat nomor cantik kendaraan di depannya, Tom
tahu siapa penumpang di dalamnya. Ia terus membuntuti menembus kabut tipis.
Kampus sudah ramai
dengan berbagai kesibukan mahasiswa.
“Punya
cerita hari ini, Tom?” kataku sambil menepuk pundak Tom.
“Belum
ada yang menarik. Kalau ingin mendapatkan gagasan dariku mestinya ada
syarat-syaratnya. Misal, aku ditraktir yang sedikit bergizi, Artinya
jangan aku yang bersusah payah, kamu
yang dapat uang. Tidak adil,” kata Tom sepertinya berseloroh.
“Kapan-kapan
kutraktir semangkok bakso, sepiring
nasi goreng, atau nasi kucing?” kataku meledek.
“Huh,
jangan sebut nasi kucing, itu yang membuat otakku beku, nilaiku tak bermutu!” Tom berteriak meninggi sambil memberi isyarat
dengan tangannya.
“Nilaimu
bukan karena nasi kucing, tapi perilakumu yang seperti kucing, mendengkur
melulu, bangun kesiangan, telat Subuh, mana mungkin meraih prestasi?” balasku kencang mencoba
membuat
Tom garuk-garuk kepala.
“Haduh,
mulutmu seperti mbahku aja, tuaaaaaa!” katanya sambil beranjak pergi ke
kelasnya.
Sudah
tidak ada pembicaraan lagi sampai tiba waktu makan siang.
Hari
ini Tom tak makan siang di kantin. Apakah ia tidak ingin melihat perempuan itu lagi? Apa yang akan dikerjakannya lagi
sekarang? Ia ke perpustakaan menyelesaikan tugas. Mudah-mudahan ia bertahan
lama di perpustakaan. Untunglah hari ini pengunjung tidak terlalu padat,
suasana nyaman untuk duduk dan membolak-balik buku, kalau ada gangguan,
paling-paling sekali dua kali beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari buku di
belakangnya.
“Ini
proposal kegiatan besok, Tom!” kataku meletakkannya di dekat meja baca.
“Terimakasih. Sudah lengkap, Don? Kuajak kau minta tanda tangan dan menemui
narasumber hari ini,” kata Tom sambil menoleh ke arahku.
“Siapa
narasumbernya?” tanyaku
penasaran.
“Narasumbernya
dari
Mabes Polri,
ahli, dan pengamat
sosial tentang prostitusi di abad ini… gratis!” Tom menahan napas.
“Narasumber
hebat, tidak mau dibayar,” komentarku.
“Pastinya
ilmuwan berhati mulia?” kataku sambil menepuk pundak Tom.
Penjaga
perpus menoleh sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar Doni dan Tom berlama-lama di meja baca. Ini bukan sesuatu
yang biasa. Ini bukan warung kopi untuk ngobrol yang tidak penting. Sepertinya
penjaga perpus itu memvonis kami hanya memiliki satu otak, separoh ada di
kepala Tom dan separoh lainnya ada di dengkul? Sehingga kami dapat tertawa lepas, bebas
sampai urat-urat tegang berganti lemas.
Tom tak biasa dengan kesedihan, kalau itu terjadi
pasti ada sesuatu yang membuatnya larut dalam suasana seperti itu. Saat sedih
ia bertandang ke rumah di jalan yang ada pohon randunya. Itu tempat kos
sahabatnya. Tiduran sambil mengendapkan gundah dan resah karena problem yang
dihadapinya.
“Problem seberat apa yang membuatmu tak berdaya, Tom?”
tanya sahabatnya.
“Sebenarnya problem seberat biji sawi yang membuatku
sedih. Mengapa aku sedih? Ada sesuatu yang sangat ideal dalam mimpiku tetapi
itu tidak menjadi kenyataan,” ujar Tom sambil memandang langit-langit kamar.
“Apakah gerangan yang sedang engkau hadapi?”
“Soal keuangan, cinta, gadis impian, atau apa?” tanya sahabatnya
ingin tahu.
“ … atau tentang gadis yang sering duduk di kantin
kampus itu?” sambung sahabatnya teringat sesuatu.
“Nah, itu dia,” kata Tom sambil menepuk-nepun punggung
sahabatnya.
“Apa dan kenapa dengan dia?”
“Dia siapa maksudmu?”
“Dia yang kamu maksudkan,” balas Tom.
Keduanya
tertawa pendek. Berkata-kata seolah-olah nyambung tetapi sebenarnya kurang
nyambung. Mungkin karena bicaranya hanya dengan separuh otak.
Beberapa hari yang lalu Tom bertandang ke sebuah
rumah. Dia keluyuran ke sebuah tempat
yang belum dikenalnya. Katanya sudah janjian akan berkunjung ke sebuah
desa di pinggiran kota. Tom mengajak temannya yang sering dipanggil San, dan
San inilah sebagai penunjuk jalan untuk Tom. Tidak banyak suara. Tidak banyak
cakap. San hari ini membawa misi untuk membawa lelaki tua yang sangat polos.
Orang tua itu bernama Asmawikarta.
Pak Asmawikarta ini orangtua yang sungguh polos luar
biasa. Ia sehari-hari memelihara berkutat dengan beberapa ekor sapi
peliharaannya. Rumah tua yang berbentuk joglo saja bagian berandanya dijadikan
kandang sapi. San sudah lama bertetangga dengan Pak Asmawikarta. Senang bergaul
dengan orang polos seperti dia.
San ini sosok driver yang cekatan. Liku-liku jalan
raya yang macet tidak menyurutkan nyalinya. Ia sudah dapat menemui dan
sekaligus mengajak Pak Asmawikarta. Satu setengah jam perjalanan cukup bagi San
untuk menempuh perjalanan dari sebuah rumah di pinggir kota.
San mengajak Pak Asma ini ke sebuah ruangan di kamar
tahanan kelas 1. Di ruang itu ada beberapa tahanan wanita yang terjerat kasus
kejahatan yang masuk kategori istimewa. Beberapa tahanan wanita di ruang itu
ternyata bukan wanita sembarangan, ada mahasiswi, artis, isteri orang kaya,
isteri pejabat, dan beberapa peranan penting lainnnya.
“Pak Asma sudah sampai, duduk saja di sini. Kita
menunggu petugas memanggil putri Bapak,” kata Sunu pelan.
Petugas memanggil sebuah nama dari kamar tahanan nomor
3. Dari kamar itu keluar sosok perempuan muda dengan wajah suntuk, lebih sering
menunduk begitu melihat orang tua yang di depannya.
“Jum …!” panggil orangtua itu lirih.
Perempuan yang dipanggil Jum mendekat kemudian memeluk
erat lelaki tua itu.
Terdengar tangis keharuan. Lelaki yang tidak tahu
banyak tentang tempat ini, bagaimana ada di sini, mengapa harus ada di sini? Lelaki tua sederhana yang
waktunya banyak dihabiskan untuk memelihara sapi, dan menjualnya ketika anaknya
minta uang untuk bayar registrasi kuliah. Tom, San, dan aku tak kuasa menahan
rasa haru. Air matapun menetes menyaksikan hancurnya hati seorang ayah. Tidak perlu dijelaskan lagi oleh Tom, kalau perempuan
blasteran yang sering nongol di kantin kampus itu ternyata bernama
Jumitri, Violette Jumitri.