Just another free Blogger theme

Jumat, 13 Maret 2020


Di pojok kantin kampus, sering hadir sosok (?) yang membuat penasaran siapapun yang melihat. Dengan celana jeans belel and sepatu kets branded, ia terlihat keren. Gayanya sangat santai menikmati sarapan pagi yang terlambat, karena sekarang sudah pukul 10.00. Kemeja yang dipakainya rapi, dan itu menjadi salah satu yang menarik. Wajah misterius, tak perlu tanda kutip tentunya,  berpadu dengan aura melankolis seperti sesuatu yang saling melengkapi. Sesaat kemudian ia berdiri untuk menggeser tempat duduk. Tingginya sedang, tampak kurus, terbukti dari jari-jemarinya dan jam tangan yang terlalu longgar di tangannya. Ada tai lalat di pipi kanan agak ke bawah. Aku tidak tahu mengapa ia sering sarapan pagi di tempat itu.
Adakah yang mau menceritakan sesuatu tentang perempuan itu?
Siapa perempuan itu? Pesona wajahnya liar biasa,” kata Tom memancing rasa penasaran Doni.
“Kamu sok tahu saja. Memangnya kenapa dengan perempuan itu? Apa ia memerlukan dirimu? Apa ia mengenalmu?” kata Doni meragukan perkataan temannya.
“Perempuan itu blasteran Jawa-Prancis. Perhatikan dia, bro Don! Alis dan hidungnya ikut Prancis, matanya ikut Jawa,” kata Tom tahu memberikan gambaran sosok yg sedang diperbincangkan.
“Apa iya? Kok, sepertinya biasa-biasa saja,” sanggah Doni.
“Coba kamu mendekat dan duduk di sana! Kau akan melihat apa yang kukatakan barusan,” kata Tom sambil menunjuk ke kantin.
Hari-hari di bulan November ditandai langit berawan, berkabut, kadang pagi, kadang petang. Langit berawan kemudian gerimis panjang mulai pagi hingga petang, malam sampai pagi. Suasana dingin pagi meliputi aktifitas banyak orang yang hampir tak terusik, sebagian lainnya asyik bermalas-malasan di rumah menunggu munculnya matahari. Jadwal kegiatan tetap berjalan walaupun gerimis menemani wira-wiri banyak orang sesuai jadwal yang tengah dirancangnya.
Bagi yang tidak ada jadwal kegiatan, kantin menjadi tempat yang asyik untuk nongkrong. Cari yang hangat-hangat. Pesan susu atau teh, dilengkapi dengan makanan kecil. Itu yang dapat dinikmati sendiri atau ngajak teman. Duduk-duduk di kantin menggunakan waktu luang memang asyik. Paling tidak menikmati ramahnya penjaga kantin. Banyak yang tidak tahun namanya. Mereka yang datang hanya fokus pada berbagai menu yang ada di kantin itu, Mungkin, mungkin ya, Doni dan Tom yang sering mengamati penampilan pelayan atau pemilik kantin itu. Sebenarnya biasa saja, mungkin yang istimewa dari kantin ini pelanggannya ternyata tidak boleh ngutang.
Tom terdiam sambil memandang gerimis dan kabut di luar kantin.Tom melepas pandangan yang melesat jauh, dan itu seperti pandangan terjauh yang pernah aku lihat. Ada yang akan dikatakan Tom tentang sesuatu yang berkaitan dengan pengalamannya. Ada yang aku suka darinya, dari mahkluk langka ini, karena ia termasuk orang yang banyak tahu tentang teman-teman mahasiswa di sini, nomor-nomor rumah yang menjadi tempat-tempat kos yang ada di seputar kampus, jalan-jalan, gang-gang sempit dengan karakteristik masing-masing. Kok, mampu segitunya, ya? Seperti orang kurang kerjaan saja. Lebih ajib lagi, Tom tahu juga teman-teman yang banyak utang di kantin-kantin. Ini tentang misteri kehidupan, sebagian kecilnya, jelas Tom suatu hari sambil tidak lupa untuk nyengir.
Tom memulai ceritanya dengan menyebut sebuah tempat yang agak jauh dari kampus. Ada sebuah gang yang tidak terlalu lebar tetapi tidak terlalu sempit. Gang itu sering dijadikan tempat main bola anak-anak karena di sekitar hunian memang tidak ada lapangan bola atau tempat yang lapang. Di dekat gang memang ada lapangan tempat main tenis para dosen yang tertutup dari orang-orang umum di sekitarnya. Main bola di gang sering mengganggu para pengguna jalan. Anak-anak yang main bola di gang mengaku mendapatkan sensasi yang luar biasa, meski serin kena marah tetapi mereka tidak kapok. Bermain bola di jalan sangat mengganggu kepentingan umum dan mereka menyadari akan kesalahannya itu. Mungkin perlu dicarikan solusi tanah lapang untuk menyalurkan hobi mereka. Sampai sejauh ini belum ada yang melarang sepak bola di gang tersebut. Permainan sepak bola di gang tersebut sudah viral. Anehnya gang yang tidak terlalu luas tetapi dikenal luas itu ternyata belum ada namanya.
Ada hunian yang representatif di ujung gang tersebut, dekat kali yang airnya keruh, kotor, dan bau. Rumah yang banyak didirikan tempat itu banyak ditinggali oleh orang-orang yang jauh. Ada yang menyewa atau hanyak tinggal sebagai anak kos yang membayar kamar setiap bulan atau setahun sekali. Lokasi yang strategis dan pemandangan alam yang tampak indah mempesona siapapun yang datang ke sana. Tanah-tanah di daerah itu sudah banyak didirikan tempat-tempat penginapan, yang dimiliki orang-orang  berkantong tebal. Penduduk sekitar banyak yang jadi penjaganya saja. Iming-iming segepok uang yang membuat tanah-tanah di tempat itu hampir seluruhnya menjadi milik orang di luar daerah aslinya.
Siang ini langit utara berselimut awan. Sekali-sekali suara guruh di langit beriringan dengan cahaya berkilatan. Tom hanya memandang ke luar jendela. Hujan rintik-rintik menyapu gadung-gedung yang tak pernah merunduk. Saat hujan turun serasa meredam gundah, seperti tanah kering dan jati meranggas ditempa kemarau panjang kembali meraih kehidupan. Aku masih duduk di beranda sambil menunggu teman yang membawa kunci pintu kamar.
“Pulang, bro?” tanya Tom keras-keras. Aku menengok ke arah suara. Tampak sepotong wajah anak muda di balik jendela, itu Tom dan temannya. Satu kebiasaan yang selalu kuingat dari kawanku ini, selalu nyengir usai menyapa. Siapa itu yang bersamaTom? Doni belum tahu asal-usul anak itu.. Saat ini yang aku ketahui Tom itu anak muda yang banyak temannnya, suka bergaul dan pintar.
Tumben ramah sekali denganku? Jangan-jangan ada sesuatu?” Doni bertanya bernada curiga.
Don, sebulan aku menempati rumah kos baru. Rumah kecil di ujung jalan kecil. Ada puluhan pohon randu di sepanjang jalan itu. Saya tidak tahu persis kenapa dan bagaimana di kota besar ini masih ada pohon randu, bukannya pohon asam atau pohon yang lambat pertumbuhannya. Konon, tanaman itu untuk mengenang anak Pak RT yang hilang di pedalaman Kalimantan saat mengikuti KKN. Pohon randu yang ditanam berderet. Satu, dua, tiga, empat, lima … dua puluh. Itu simbol usia terakhir anak Pak RT yang hilang. Pohon yang ke-18 tepat berada di samping asrama,” kata-kata Tom berlagak cermat. Asal tahu saja, pohon randu di sepanjang jalan ini memang ada dua puluh.
“Seminggu yang lalu aku bersepeda pagi-pagi meyusuri jalan D, memutar ke jalan E, membelok ke jalan F, menuruni jalan G dan berhenti di jalan H. Kamu pengin tahun hasilnya?” kata Tom sambil memperlihatkan kameranya.
“Tidak. Ada yang istimiewa?” tanya Doni.
“Ayo mampir! Nanti aku perlihatkan,” katanya semakin membuat penasaran.
“Tentang gadis itu?”
“Lihat saja nanti,” kata Tom menunjukkan samrtphone canggihnya.
“Itu gadis yang pernah kau lihat di kantin kampus? Lalu apa hebatnya?” tanyaku penasaran.
“Soal itu belum dapat saya jelaskan?” nerocos mulut Tom seperti kebiasaannya.
“Lalu apa hubungannya perempuan di kantin itu, Tom? Kau sudah membongkar rahasianya? Hah, itu hanya skenario sebuah sinetron saja,” tanya Doni berusaha menghentikan pembicaraan Tom.
“Tidak usah menaruh curiga, Don. Kau belum tahu siapa dia sebenarnya,” kata Tom seperti menyimpan sebuah teka-teki.
Tom memang tidak memberi informasi yang lebih tentang seorang perempuan yang ada di fotonya kemarin. Misteri apa yang sedang dibawa Tom? Apakah perempuan itu itu buronan polisi yang berkaitan dengan peredaran narkoba di kalangan mahasiswa? Atau mungkin mucikari yang disinyalir berkeliaran di kampus ini? Atau siapa dia sebenarnya?
Seperti pagi sebelumnya, jarang anak-anak kos di sini bangun kesiangan. Pagi-pagi di depan kos pasti diramaikan orang yang lari-lari kecil, sendiri, berdua, bertiga, rombongan, atau naik sepeda beramai-ramai. Suasana seperti itu selalu mengiringi pagi Tom dan yang lainnya. Suasana yang ceria, meriah, dan penuh keakraban. Menikmati bubur ayam di bawah pohon randu akan memunculkan rasa rindu. Siapa yang membuatmu kangen? Pertama, tentu saja sepatumu yang lusuh tak pernah ganti. Kedua, obrolan santai dan cita rasa bubur ayam yang nikmat.
Tom berangkat dari rumahnya ke kampus dengan semangat. Motornya merayap diiringi gerimis kecil dan kabut tipis, melaju tak lebih dari 60 kilometer perjam. Paling menyebalkan konvoi truk, bis besar, angkutan, kendaraan pribadi, dan sederet motor. Tepat di depan Tom, mobil sedan putih tulang melaju hati-hati. Melihat plat nomor cantik kendaraan di depannya, Tom tahu siapa penumpang di dalamnya. Ia terus membuntuti menembus kabut tipis.
Kampus sudah ramai dengan berbagai kesibukan mahasiswa.  
“Punya cerita hari ini, Tom?” kataku sambil menepuk pundak Tom.
“Belum ada yang menarik. Kalau ingin mendapatkan gagasan dariku mestinya ada syarat-syaratnya. Misal, aku ditraktir yang sedikit bergizi, Artinya jangan  aku yang bersusah payah, kamu yang dapat uang. Tidak adil,” kata Tom sepertinya berseloroh.
“Kapan-kapan kutraktir semangkok bakso, sepiring nasi goreng, atau nasi kucing?” kataku meledek.
“Huh, jangan sebut nasi kucing, itu yang membuat otakku beku, nilaiku tak bermutu!” Tom berteriak meninggi sambil memberi isyarat dengan tangannya.
“Nilaimu bukan karena nasi kucing, tapi perilakumu yang seperti kucing, mendengkur melulu, bangun kesiangan, telat Subuh, mana mungkin meraih prestasi?” balasku kencang mencoba membuat Tom garuk-garuk kepala.
“Haduh, mulutmu seperti mbahku aja, tuaaaaaa!” katanya sambil beranjak pergi ke kelasnya.
Sudah tidak ada pembicaraan lagi sampai tiba waktu makan siang.
Hari ini Tom tak makan siang di kantin. Apakah ia tidak ingin melihat perempuan itu lagi? Apa yang akan dikerjakannya lagi sekarang? Ia ke perpustakaan menyelesaikan tugas. Mudah-mudahan ia bertahan lama di perpustakaan. Untunglah hari ini pengunjung tidak terlalu padat, suasana nyaman untuk duduk dan membolak-balik buku, kalau ada gangguan, paling-paling sekali dua kali beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari buku di belakangnya.
“Ini proposal kegiatan besok, Tom!” kataku meletakkannya di dekat meja baca.
“Terimakasih. Sudah lengkap,
Don? Kuajak kau minta tanda tangan dan menemui narasumber hari ini,” kata Tom sambil menoleh ke arahku.
“Siapa narasumbernya?” tanyaku penasaran.
“Narasumbernya dari Mabes Polri, ahli, dan pengamat sosial tentang prostitusi di abad ini gratis!” Tom menahan napas.
“Narasumber hebat, tidak mau dibayar,” komentarku.
“Pastinya ilmuwan berhati mulia?” kataku sambil menepuk pundak Tom.
Penjaga perpus menoleh sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar Doni dan Tom berlama-lama di meja baca. Ini bukan sesuatu yang biasa. Ini bukan warung kopi untuk ngobrol yang tidak penting. Sepertinya penjaga perpus itu memvonis kami hanya memiliki satu otak, separoh ada di kepala Tom dan separoh lainnya ada di dengkul? Sehingga kami dapat tertawa lepas, bebas sampai urat-urat tegang berganti lemas.
Tom tak biasa dengan kesedihan, kalau itu terjadi pasti ada sesuatu yang membuatnya larut dalam suasana seperti itu. Saat sedih ia bertandang ke rumah di jalan yang ada pohon randunya. Itu tempat kos sahabatnya. Tiduran sambil mengendapkan gundah dan resah karena problem yang dihadapinya.
“Problem seberat apa yang membuatmu tak berdaya, Tom?” tanya sahabatnya.
“Sebenarnya problem seberat biji sawi yang membuatku sedih. Mengapa aku sedih? Ada sesuatu yang sangat ideal dalam mimpiku tetapi itu tidak menjadi kenyataan,” ujar Tom sambil memandang langit-langit kamar.
“Apakah gerangan yang sedang engkau hadapi?”
“Soal keuangan, cinta, gadis impian, atau apa?” tanya sahabatnya ingin tahu.
“ … atau tentang gadis yang sering duduk di kantin kampus itu?” sambung sahabatnya teringat sesuatu.
“Nah, itu dia,” kata Tom sambil menepuk-nepun punggung sahabatnya.
“Apa dan kenapa dengan dia?”
“Dia siapa maksudmu?”
“Dia yang kamu maksudkan,” balas Tom.
 Keduanya tertawa pendek. Berkata-kata seolah-olah nyambung tetapi sebenarnya kurang nyambung. Mungkin karena bicaranya hanya dengan separuh otak.
Beberapa hari yang lalu Tom bertandang ke sebuah rumah. Dia keluyuran ke sebuah tempat  yang belum dikenalnya. Katanya sudah janjian akan berkunjung ke sebuah desa di pinggiran kota. Tom mengajak temannya yang sering dipanggil San, dan San inilah sebagai penunjuk jalan untuk Tom. Tidak banyak suara. Tidak banyak cakap. San hari ini membawa misi untuk membawa lelaki tua yang sangat polos. Orang  tua itu bernama Asmawikarta.
Pak Asmawikarta ini orangtua yang sungguh polos luar biasa. Ia sehari-hari memelihara berkutat dengan beberapa ekor sapi peliharaannya. Rumah tua yang berbentuk joglo saja bagian berandanya dijadikan kandang sapi. San sudah lama bertetangga dengan Pak Asmawikarta. Senang bergaul dengan orang polos seperti dia.
San ini sosok driver yang cekatan. Liku-liku jalan raya yang macet tidak menyurutkan nyalinya. Ia sudah dapat menemui dan sekaligus mengajak Pak Asmawikarta. Satu setengah jam perjalanan cukup bagi San untuk menempuh perjalanan dari sebuah rumah di pinggir kota.
San mengajak Pak Asma ini ke sebuah ruangan di kamar tahanan kelas 1. Di ruang itu ada beberapa tahanan wanita yang terjerat kasus kejahatan yang masuk kategori istimewa. Beberapa tahanan wanita di ruang itu ternyata bukan wanita sembarangan, ada mahasiswi, artis, isteri orang kaya, isteri pejabat, dan beberapa peranan penting lainnnya.
“Pak Asma sudah sampai, duduk saja di sini. Kita menunggu petugas memanggil putri Bapak,” kata Sunu pelan.
Petugas memanggil sebuah nama dari kamar tahanan nomor 3. Dari kamar itu keluar sosok perempuan muda dengan wajah suntuk, lebih sering menunduk begitu melihat orang tua yang di depannya.
“Jum …!” panggil orangtua itu lirih.
Perempuan yang dipanggil Jum mendekat kemudian memeluk erat lelaki tua itu.
Terdengar tangis keharuan. Lelaki yang tidak tahu banyak tentang tempat ini, bagaimana ada di sini, mengapa harus ada di sini?  Lelaki tua sederhana yang waktunya banyak dihabiskan untuk memelihara sapi, dan menjualnya ketika anaknya minta uang untuk bayar registrasi kuliah. Tom, San, dan aku tak kuasa menahan rasa haru. Air matapun menetes menyaksikan hancurnya hati seorang ayah. Tidak perlu dijelaskan lagi oleh Tom, kalau perempuan blasteran yang sering nongol di kantin kampus itu ternyata bernama Jumitri, Violette Jumitri.


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 komentar:

Posting Komentar