Just another free Blogger theme

Sabtu, 13 November 2021

Buah yang sudah dikupas tersaji di atas meja. Buah segar dengan aroma yang khas yang menggugah selera. 

Jumat, 13 Agustus 2021

 Kepadamu

Oleh Yudi Karsono

 

menatap mentari pagi ini

polos diiringi nyanyian katak dan burung-burung

indah beranda langit pagi

ini lukisan  

karya yg sempurna

 

Bergetar kumenatap pesona pagi

sepanjang mata hamparan tumbuhan aneka bentuk dan warna

desain seni rupa yang tiada tara

perhatikanlah, ada keladi di pinggir kali dengan daunnya berayun

ke kanan ke kiri seperti sedang melantunkan zikir khusuk memuji

dari daunnya yang warna-warni yang menandakan kalau dirinya tercipta

dari sang Maha Indah

 

Bergetar jiwaku mendengar orchestra  yang menakjubkan ini

daun-daun menyapa dengan lambaian bahagia  bersama embun

bunga glagah yang mekar menari bermain dengan angin silih berganti

gemercik air pancuran dan sayup-sayup kokok ayam hutan menyapa

 

Sungguh lidahku dilanda kelu untuk mengatakan sesuatu

kemudian mataku hanya dapat  memandang semua ini

dalam haru kekaguman yang dalam

dalam kreasi harmoni yang sangat daetail ini 

dari sang Pencipta alam semesta

Purbalingga, 13 Agustus 2021 




Rabu, 11 Agustus 2021

Sepotong Senyum yang Selalu Indah

Oleh Yudi Karsono


duduk di peron stasiun

sengaja kudatang lebih awal

menunggumu

bersama sahabat dan pelayan kantin

yang selalu tersenyum

senyum yang selalu indah

apakah hidupmu tak pernah sedih, sahabat?

tidak, jawabmu

pada waktu dan ruang yang sama

peran ini harus dimainkan dengan gembira

bukankan ini sebuah skenario 

dari sebuah kisah?

jadi semua harus diterima apa adanya

berdasarkan peran-peran yang tertulis di sana

karenanya tak perlu kecewa

hidup itu perjalanan

atau ibarat kita sedang nongkrong menikmati secangkir kopi

dan apapun, dan tak perlu bayar mahal

atas nama persahabatan,

sumpah aku sangat betah di sini

karena rindu senyummu

senyum yang selalu indah

itu alasan pertama

senyum dari sang rembulan 

sumpah, senyum kamu itu sangat indah

kamu manusia yang berhati malaikat

berwajah bidadari

dan berhati mulia

biarkan saja jalan hidupmu menjadi sebuah kisah

hadir dan pergi seperti kereta

singgah silih berganti

hingga berakhir nanti 

 

Surakarta, 12 bulan Juli 2000



Senin, 09 Agustus 2021

HUJAN DAN MIMPI

Oleh Yudi Karsono


Ada anak-anak yang  bermain di pelataran

berbasah-basahan dengan canda dan tawa

seakan yang datang dari langit itu sebuah hadiah

kepada mereka

Ada anak-anak yang berlarian di bawah derasnya hujan

seakan perjamuan untuk sahabat yang baru datang

tak ada kesedihan

itu barusan berlabuh dan pergi perahu mereka

terbawa arus anak sungai hingga ke muara

dan anak-anak pun membangun sebuah telaga

dari permainan yang terindah

menanti hari cerah untuk membersihkan luka-luka

yang ada dalam jiwa pengelana

Anak-anak berlarian dan berteriak di atas perahu

berlabuh pada samudera luas dengan buih gelombang

seakan tak ada batu karang yang menghadang

berpayung langit  yang terbentang luas

beriring angin harapan

Anak-anak berlarian beriring bersenandung hujan

diiringi daun-daun yang mendayu di pelataran

Derai hujan membawanya pada mimpi

tentang masa

saat bareng memandang langit dan kita

bila permainan terus berlanjut pada hari esok

untuk kembali mengenang bola klaras pisang yang tak bulat lagi

yang akan ditendangnya keras-keras sambil berteriak

Akulah pemenangnya! Akulah pemenangnya! 

Mereka tertawa, membiarkan diri mereka menjadi pemenang

we are champion ....

memang ini sebuah kemenangan yang harus dirayakan






Minggu, 08 Agustus 2021

Sayap-sayap Putih

Oleh Yudi Karsono


Saat sayapku mengembang

kutatap cakrawala biru yang mempesona

awan berarak menyambut pagi

padang savana yang masih basah oleh embun

dan dendang nyanyian daun

diiringi irama dan aroma bunga-bunga mekar

di alam tebing-tebing, lembah gemulai

satwa yang terbangun dari tidurnya

kabut tipis yang menepi dari keheningan

suara kicau burung-burung

cahaya pagi yang menerobos pepohonan

dan desah pucuk-pucuk daun kemerahan

seperti zikir pagi yang mendamaikan

membiarkan sepi mencinta memeluk diri

memekarkan jiwa yang mengelana

di jalan  setapak yang bersahabat

dengan kakimu tanpa alas kaki

membiarkan gemercik air menyusuri liku-liku

sungai yang masih sangat perawan

tersenyum menyambut Mentari

dari celah rimbunnya kehidupan

jangkerik dan belalang yang bersembunyi

embun pagi yang enggan beranjak

tetap bening dengan tingkah menggemaskan

dedaunan

hanya ada senyum di pagi yang tenteram

bersama pantulan-pantulan kasih 

pada rerumputan, daun-daun pakis dari celah belantara








Jumat, 23 Juli 2021

 Misteri Edelweis 
oleh Yudi Karsono

Gadis yang bola matanya bening itu sedang berdiri di tepi telaga. Ada temannya di situ, beberapa murid perempuan, dan guru-guru mereka, sepertinya. Mereka sedang asyik menikmati pemandangan telaga yang sudah dangkal karena endapan lumpur yang bercampur belerang. Endapan lumpur berasal dari perbukitan yang semakin botak seperti kepala bapak kepala sekolah (maaf, sepertinya tidak ada hubungan).

Telaga ini menjadi objek wisata yang menarik. Orang menyebutnya telaga warna, karena keunikan warna air yang sering berubah-ubah. Kadang berwarna kuning, hijau, atau mirip warna-warna pelangi. Fenomena ini terjadi karena keadaan air  yang bercampur belerang, sehingga air telaga memantulkan cahaya matahari berwarna-warni. Lebih tepatnya, besok akan ia tanyakan kepada guru fisika di sekolah.

Sejak turun dari bis ia merasakan sesuatu di perutnya: lapar! Ia menahan rasa lapar dalam waktu yang lama, dari tadi sampai sampai saat ini. Sampai ada suara yang membuat dirinya seperempat kaget. Ia membalik kanan, melihat sumber suara yang memberinya angin. Angin surga itu memberi harapan dan kepastian. Paling tidak ada sesuatu yang diharapkan.

“Teman-teman, kita istirahat untuk makan mi ongklok,” ajak cowok yang memakai kupluk wind stopper menebar kabar gembira.

Siapa yang mengajaknya makan mi ongklok? Dia bukan teman satu kelas. Menurut feeling-nya seperti penghuni kelas akhir jurusan ilmu sosial, atau siapapun itu tidak cukup penting. Siapapun dia, yang pasti jiwanya sosial banget. Orang ini yang akan berjasa mengakhiri rasa lapar, dan rasa laparlah yang membuat gadis bertopi itu tidak berpikir panjang untuk menerima ajakan makan. Tak peduli apa yang akan dimakan. Maaf, sebenarnya ia jarang banget atau kurang mood makan kuliner tersebut di atas. Tidak tahu, mungkin ada phobia pada makanan sejenis itu. Jangan memandang apa yang akan dimakan, tetapi lihatlah siapa yang mengajak makan? Itu yang paling penting.

Ia ingin sekali mendekati paman yang sedang menyiapkan makanan. Ia harus menyampaikan bahwa mi untuknya tidak pakai saus, tidak pakai micin, tidak pakai bawang merah, tidak pakai sambal, dan tidak pakai daun caisim. Lalu apa yang akan dimakan? Ia malas beranjak untuk menyampaikannya kepada paman itu. Enggan  merespon berlebih terhadap kebaikan orang lain.  Pertama, tidak mau dikatakan memanfaatkan. Kedua, tidak mau sok akrab, sok dekat, karena memang tidak akrab dan tidak dekat. Jadi ia tidak akan menawar atau berusaha untuk menyampaikan keinginannya. Ia membiarkan semua ini terjadi apa adanya saja. Gadis bertopi itu tersenyum-senyum sendiri, menyadari apa yang sedang berputar-putar di kepalanya.

Ia merasa senang dapat hadir di ruang makan mi ongklok yang terkenal. Owner-nya masih sangat muda, mahasiswa semester awal di sebuah universitas ternama di Yogya. Kapan-kapan pengin datang lagi ke tempat ini, kepoin yang punya. Masih muda sudah banyak duit. Ia amat penasaran dan pengin mengikuti jejaknya menjadi pebisnis sukses.

Beberapa makhluk sudah duduk menunggu di ruang makan. Jumlah mereka sembilan orang. Duduk dari kiri ke kanan: AK, UL, AP, AR, BA, NG, dan ET. Kemudian yang berlawanan arah HE, dan terakhir bosque siang ini, inisialnya BAT. Sebagian besar belum keluar suaranya, padahal sudah lama sering berjumpa. Beberapa saat mereka berusaha duduk dengan nyaman sambil mendengarkan musik. Belum ada yang menanyakan siapa dan darimana makhluk yang mengajaknya makan mi ongklok. Apa yang akan ditanyakan, sedang dipikirkan. Sepertinya aneh kalau hanya akan menanyakan, di mana rumahmu? Atau siapa saja temanmu?

“Permainan ST kemarin sangat bagus?” dia memulai pembicaraan.

“Dia berbakat sejak kecil, cerdas banget cara bermain fingerstyle-nya,” balas temannya, gadis bertopi.

“Colab sama kamu bagus banget,” dia mengusulkan sambil menunjuk gadis bertopi.

“Setuju,” teman-temannya secara aklamasi menyetujuinya.

“Apa-apan? Suaraku fals,” kata gadis bertopi berusaha merendah.

“Suaramu bagus dan pastinya keren mantap, dan bikin melayang-layang,” ujar UL seraya mengeluarkan jempolnya.

“Dasar tukang hoaks,” sambung gadis bertopi yang ternyata berinisial AK.

“Ketagihan karena penyanyinya cantik,” sela UL.

“Cantik wajahnya dan bagus suaranya. Dia komplit banget,” yang lain menimpali.

“Siapa yang kalian maksud, teman-teman? Itu namanya sesat opini saja, bicara tidak berdasarkan fakta,” bantah gadis bertopi sambil menyeruput wedang.

“Bicara itu yang komplit, aku mengingatkan saja. Hari ini ada yang komplit banget dan menghangatkan, lihat nih! Wedang rempah ini. Komposisinya:  buah kapulaga, cengkeh, serai, jahe bakar, kayu manis, secang, gula batu, madu, dan air. Ini baru komplit dan hangat,” kata gadis bertopi ngelindur panjang lebar.

“Iklan,” BAT ikutan menyela.

“Padahal saya ingin dirimu tampil tanpa iklan,” ujar AP dengan wajah lucu.

Makanan yang sudah lama mereka tunggu segera datang bersama aroma yang merangsang selera. Gadis bertopi menanyakan, ada tambahan nasi gak? Ada, kata paman yang meracik makanan. Bahkan ada menu pendamping sate kambing muda yang mereka sebut sate cempe balibul. Menu utamanya mi ongklok ditambah sate kambing, ditambah wedang rempah, ditambah tempe kemul, dan lain-lain sesuai dengan selera masing-masing. Makanan tambahan yang lumayan lengkap.

Menu sate cempe balibul penyelamat perutnya yang sudah menjerit minta diisi. Selera makannya tiba-tiba melejit. Asap nasi hangat dengan sate kambing membuatnya menahan liur. Wow, maklum orang kelaparan harus membuang basi-basi, yang memang tidak diperlukan. Kalau diperhatikan maka menu utamanya menjadi kabur. Mula-mula mi ongklok yang hanya diracik dengan kuah dan kecap. Kok, menu mi ongkloknya gak disantap duluan? Atau bakalan dibungkus saja? Gadis bertopi hanya teresenyum, merasa ada yang janggal dan lucu.

“Makanan semua harus habis. Bagi yang tidak habis dapat dibungkus dan dibawa pulang” ujar BAT mengingatkna teman-temannya.

“Kalau nambah bagaimana?” ujar AK.

“Doyan apa kelaparan?” tanya UL.

“Keduanya menyatu,” ujar LA sambil terkekeh.

“Pak gurumu tidak sekalian diajak makan?” tanya gadis bertopi.

“Dia bareng sesama guru. Nanti, kita cari oleh-oleh saja untuk beliau,” ujar BAT  menjawab pertanyaan gadis bertopi.

“Setelah ini kita berjalan ke candi-candi, dan kawah belerang. Jangan lupa pakai masker, karena bau belerangnya masing sangat menyengat. Ada yang bawa telur? Kita rebus telur di sana. Telur yang direbus dengan air belerang khasiatnya luar biasa. Bagi yang belum percaya nanti harus coba,” ujar BAT sambil menerangkan sesuatu yang terdengar aneh di telinga teman-temannya.

“Setahu saya belum ada penelitian yang berkaitan dengan telur yang direbus dengan air belerang,” kata gadis bertopi sedikit bersikap ilmiah.

BAT hanya tersenyum. Mengapa kalian harus serius dengan candaanku? Batin BAT menyikapi sikap gadis bertopi.

“Sudah tahu asal-usul nama tempat ini? Dieng konon berasal dari kata “di” yang artinya gunung, dan “hyang” yang artinya dewa. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu, para dewa itu  bermukim di tempat yang tinggi. Dieng  berada di ketinggian 2000 di atas permukaan laut. Suhunya dingin dan menjadi tempat yang cocok merenung, bermeditasi, dan lain-lain. Mungkin mereka menyukai tempat ini karena tanahnya subur dan sangat baik untuk budidaya tanaman sayur, seperti kentang, kubis, wortel, carica, dan purwaceng. Cocok sebagai tempat peristirahatan” ujar BAT sambil berjalan-jalan memutar kompleks candi.

Tiba-tiba BAT bertanya kepada teman-temannya, “Kalian tahu khasiat purwaceng?”

“Itu sejenis tanaman yang berkhasiat untuk keperkasaan pria,” ujar ET yang sudah lebih dulu mencari informasi kepada penjual purwaceng.

Matahari sudah tinggi tetapi hawa dingin tetap menempel di kulit.  Cuaca masih dingin banget. Pagi tadi suhu mencapai minus 5 derajat Celsius. Sekarang matahari redup mengintip di balik kabut, menemani para petani sedang menanam kentang, dan juga para pengunjung kompleks candi. Di tempat dingin BAT dan teman-temannya pada kelupaan membawa pakaian yang dapat menghangatkan tubuh.

Hanya ET yang memakai jaket windbreaker dan celana kargo. Ia sudah terbiasa memakai perlengkapan pendaki gunung. ET ini sudah beberapa kali mendaki gunung.  Sebelum berangkat ET sudah menyiapkan piranti untuk mengantisipasi cuaca dingin. Ia mengingatkan teman-temannya untuk memakai fesyen outdoor berhawa dingin. Tapi teman-teman banyak yang lupa, sehingga hanya membawa jaket hodie doggy dan sarung tangan.

Mereka berhenti sejenak di sebuah musala. Sudah waktunya untuk salat zuhur. Gadis bertopi dan teman-temannya berhenti sejenak di tempat itu untuk salat. Jaket yang sejak tadi menepis udara dingin mereka lucuti sejenak. Mereka menyentuh air dingin pegunungan. Rasanya mak nyes seperti salju.

Air di tempat ini seger, dan tentu saja dingin. Mereka mendesis mendapati air yang sedingin itu. Orang sering menyebutnya dingin-dingin empuk. Rasa penat dan payah seperti hilang bersama aliran air. Pikirannya melayang, andaikan ada kasur hangat nan empuk untuk tiduran. Alangkah menyenangkan.

Air yang sejuk mampu menyegarkan otot-otot kaki setelah berjalan memutar naik dan turun.  Air sejuk karunia Tuhan yang membuat musnah rasa gerah. Berdingin ria tak mengapa, karena di antara hawa dingin masih ada kehangatan jiwa di antara kita. Keduanya saling membutuhkan. Saat ini teman-teman terpaksa (atau sengaja) menikmati dinginnya air pegunungan.

Saat para pelancong dalam negeri itu beristirahat menikmati indahnya pegunungan, seorang petani mendatangi mereka menawarkan edelweis. Bunga yang tumbuh pada ketinggian di atas 2000 mpdl itu.

“Edelweisnya, pak?” kata petani menawarkan dagangannya.

“Ini edelweis legal, mas?” tanya ET yang tadi sempat dipanggil “pak”. Apakah memang wajahnya tua mirip kakeknya? Busyet, gerutu ET.

“Beli edelweiss untuk kenang-kenangan, dik!” kata petani menawarkan dagangannya kepada gadis bertopi. ET mencermati pedagang edelweiss yang wajahnya tertutup masker.

“Bunga ini tahan lama, simbol cinta dan kasih abadi,” ujar pedagang itu memulai obrolan dengan gadis bertopi.

“Edelweis itu diraih dengan perjuangan, menuruni jurang, mendaki bukit dan gunung. Orang bersusah payah untuk dapat memilikinya. Itu dulu, sekarang  itu tidak berlaku lagi, karena edelweiss dapat dibeli dengan harga murah. Edelsweis hasil budidaya para petani. Walaupun ini bunga hasil budidaya, tetapi nilai dan maknanya tetap seperti bunga yang asli dipetik dari pegunungan yang tinggi,” kata pedagang terus mempengaruhi gadis bertopi. 

“Kebiasaan para pendaki gunung yang memetik edelweis mulai berkurang setelah petani sukses membudidayakan edelweis. Bunganya bahkan lebih bagus. Bila anda membeli bunga ini berarti anda membantu petani untuk bertahan hidup. Janganlah kamu memetik edelweis yang tumbuh di alam bebas! Itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati Ekosistem pasal 33 ayat 1,” kata pedagang edelweis.

Pedagang itu seperti bukan pedagang biasa. Perawakannya agak tinggi, memakai pakaian anak muda yang trendi bahkan banget. Pedagang edelweis itu mengobrol lama. Apa yang dibicarakan sepertinya asyik. Ia mengaku sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama di Yogya.

“Apakah kamu memiliki kekerabatan dengan owner mi ongklok?” tanya gadis bertopi.

“Bukan,” jawab pedagang edelweis itu.

“Maksud saya, bukan tidak mungkin. Banyak kemungkinan dalam hidup ini. Ada kemungkinan kamu memborong dagangan saya ini. Ayo, belilah semua untuk kamu bagikan kepada semua temanmu! Kamu itu gadis cantik yang pernah aku lihat. Bola matamu waduh, bikin jantung saya bertiup kencang dan pikiranku melayang-layang. Kamu memang luar biasa!” ujar pedagang edelweis sambil mengacungkan jempolnya.

“Aku jadi teringat, kamu ini pedagang bunga, atau pedagang yang merangkap tukang ramal, tukang rayu?,” ujar gadis bertopi sedikit kesal.

“Apakah kamu merasakan saya ini seperti yang kamu pikirkan?”

Gadis bertopi itu mengangkat topi. Ada sorot tajam di matanya. Pada bola matanya yang bening itu tampak sangat bening. Gadis itu sedang mengendalikan pikirannya. Ada sesuatu yang harus segera dia temukan jawabannya. Dia pikir ini soal ulangan bentuk uraian yang sering ia jumpai di sekolahnya. Soal uraian yang sulit.

Soal uraian itu dalam bentuk pertanyaan: Siapa dia? Ada kalimat stimulus: Gadis bertopi menangkap kejanggalan pada diri pedagang edelweis yang ia jumpai. Menurut informasi yang ia dapat, antara edelweis, pedagang bunga, mi ongklok, dan orang yang menraktirnya pada hakikatnya merupakan orang yang sama. Tapi sampai waktu yang ia miliki sudah berakhir, jawaban itu tidak atau belum dia temukan. ***

Minggu, 11 Juli 2021

Gadis Berlumpur

oleh Yudi Karsono

"Berbahagialah untuk saat ini. Saat ini adalah hidupmu." - Omar Khayyam

Hari ini matahari pagi hadir dengan sumringah. Hari ini aku datang dengan sepeda tua buatan Belanda. Sepeda yang lahir pada zaman nenek moyang, generasi baby boomer. Pakaian yang kukenakan pun melazimkan dengan apa yang aku bawa. Tidak ada asesoris kekinian yang dapat dibanggakan. Maklum aku belum punya grup seperti teman-teman, sehingga info tentang macam-macam asesoris tidak kuketahui. Teman-teman banyak juga yang menyarankan agar aku segera bergabung dengan berbagai grup sepedaan. Katanya gratis dan tidak ada iuran apapun. Sampai saat ini saran dan masukan itu belum aku masukkan ke dalam hati. Aku masih berdua. Berdua dengan sepeda tuaku.

Sepeda tua melaju di jalan sawah. Jalan yang berlubang dan banyak ditemukan genangan air, berlumpur dan licin. Jalan becek karena hujan dan aliran air irigasi yang meluber ke jalan-jalan. Hal tersebut mengakibatkan jalan berbahaya bagi pengguna yang belum mengenal medan dengan baik. Orang baru dijamin terpersosok ke dalam kubangan. Bajupun akan basah air bercampur lumpur. Barang siapa ingin selamat, makai a harus berjalan pelan dan memperhatikan arah yang akan dilalui. Orang sudah paham, jalan ini sangat sering membuat celaka. Jalan ini rusak karena terlalu sering dilalui berbagai makhluk. Mulai dari bebek, mentok, sapi, kerbau, kuda, truk, bis, dan manusia. Jalan ini menanggung beban yang terlalu berat.

Biarlah beban berat ditanggung oleh jalan tengah sawah ini. Asal para penggunanya bahagia, tak mengapa. Banyak pengguna menahan diri untuk mengeluh. Hampir semuanya berhasil untuk tidak berkata-kata. Berkeluh kesah tiada guna. Perjalanan di tempat ini tidak dapat ngobrol dan bercanda ria. Orang akan mempercepat langkah apabila melintasi jalan ini agar dapat terhindar dari bahaya.

Matahari pagi hadir semakin sumringah Sinarnya kurasakan mulai terasa hangat. Sepedaku terus melaju melewati jalan tengah sawah. Terbersit dalam hati untuk berhenti di jalan ini walau hanya sejenak. Aku melihat kanan kiri tanah sawah yang terbentang luas. Bau lumpur yang mulai mengendap masih tercium segar. Pemandangan yang indah. Sawah luas membentang siap ditanami padi hari ini.

Aku turun dari sepeda untuk melihat dari dekat lahan sawah yang siap ditanami bibit padi. Aku berjalan pada pematang sawah. Gemercik air mengalir terdengar semakin jelas. Tidak jauh dari tempat aku berdiri ada beberapa orang yang akan memulai pekerjaannya, menanam bibit padi.  Ada beberapa perempuan berkulit gelap karena teriknya matahari, resiko sebagai buruh tandur. Mereka menggunakan pelindung kepala tudung yang terbuat dari anyaman bambu.

Aku melihat ada gubuk yang tidak jauh dari pematang yang sedang aku lalui. Aku berhenti dan memeperhatikan makhluk di tengah sawah. Apa yang akan aku lakukan? Akankah menyapa dengan sapaan, selamat pagi? Kepada orang-orang akan mengawali tanam padi?. Mereka berkumpul berembug untuk tugas yang akan mereka kerjakan. Kerja bersama itu mereka namakan dengan tandur. Pekerjaan menanam padi itu diawali dari  arah mata angin yang disepakati, timur atau barat. Mereka mengawalinya dari arah timur dekat jalan yang sedang aku lewati.

Orang yang tandur tidak semuanya pemilik sawah. Mereka dipekerjakan oleh pemilik sawah atau sebut saja mereka itu buruh upah. Sehabis pekerjaa itu selesai mereka akan mendapatkan bayaran. Upah yang diterima sesuai dengan harga ongkos kerja yang berlaku di tempat itu. Ongkos kerja itu dapat untuk membeli satu porsi sate kambing. Lumayan daripada bengong di rumah. Maklum Sebagian besar mereka termasuk perempuan desa yang sederhana dan tidak berpendidikan tinggi. Umurnya pun sudah lewat dari setengah abad. Mereka masuk kategori generasi BB. Jumlahnya tidak banyak memang, dan ternyata masih sangat dibutuhkan. Tanpa dibantu oleh para perempuan yang mau berpanas ria itu, pekerjaan tandur tak bakal selesai.

Ada sesuatu yang aneh dari mereka. Itu yang membuatku penasaran. Kalau saya hitung, jumlah semuanya ada lima orang, dan yang keenamnya, itu yang paling aneh sendiri. Mosok, orang mau tandur pakai kaos oblong, visor cap, dan celana jeans. Ini sih, pelancong yang akan selfie di tengah sawah. Orang akan tersenyum atau setidaknya menelan ludah melihat ulah anak gadis milenial yang suka selfi itu. Dia seperti sedang merancang selfi di tempat ini. Yah, itu tentu dilakukan setelah dia selfi di mana-mana, di mal, alun-alun, kebun binatang, kali, jembatan, dan sekarang di sawah yang akan ditanami padi. Keren ‘kan?

“Sini, aku bantuin ambil gambarnya,” kataku sok akrab kepada pelancong yang akan  selfi di tengah sawah.

“Terima kasih, bapak. Gue udah pake kamera otomatis. Bapak tidak perlu repot-repot bantuin gue? Tuh, lihat!” kata perempuan yang memakai visor cap.

Apakah wajahku sudah tampak tua seperti seorang bapak? Satu kata yang menohok. Sayang sekali di sini tidak ada cermin untuk berkaca melihat raut wajah. Kupalingkan wajah pada beningnya air sawah. Sepertinya aku ini masih berwajah bayi, kenapa dipanggil bapak? Melihat wajah pada pantulan air sawah bukan merupakan jawaban. Setidaknya kata itu menyisakan sebuah tanda tanya. Aku akan menjawabnya suatu saat nanti. Tunggu saja!

Aku berhenti di gubuk sawah yang lumayan bagus. Di dalam gubuk itu ada dua anak gadis dengan visor cap juga. Ada anak gadis sebaya yang sedang mengatur kamera dengan menggunakan tripod. Wah, sepertinya ini anak-anak yang kreatif. Mungkin ia sedang merencanakan pembuatan vlog atau film pendek yang dapat diunggah di kanal youtube-nya.

“Apa nama kanal youtubemu? Nanti aku subscribe, like and share,”kataku sambil tersenyum.

“Wah, bapak follow IG aku, ya?” tanya si gadis bertopi dan … berlumpur.

“Aku harus menjawab: aku akan menjadi followermu! Ingat, identitasku, laki-laki yang suka sepedaan, menyusuri jalan-jalan, kadang ke jalan kota, desa, pelosok, hutan, dan kali ini, ke jalan becek tengah sawah,” kataku sambil tetap berdiri di pematang sawah.

“Apakah bapak tidak takut jantungan?” gadis itu bertanya lagi.

Lagi-lagi kata-kata menohok keluar dari mulutnya. Jantungan memang aku sudah berumur? Tekanan darah masih 120 mmHg /80 mmHg. Aku kuat berlari mengelilingi stadion 7 – 10 putaran. Ini membuktikan jantungku baik-baik saja. Tidak benar sama sekali aku ini menderita jantungan.  

“Loh, apa orang seperti saya pantas jantungan?” balasku cepat.

Perbincangan terhenti sejenak. Aku masih berdiri dan kembali terdiam melihat aksi dua gadis itu. Gadis yang berada di gubuk keluar membawa kamera dan memasang tripod di pematang sawah. Beberapa saat ia mengatur posisi. Beberapa kali pindah sana pindah sini. Menempatkan tripod yang pas untuk sasaran yang akan diambil gambarnya.

“Sepertinya di sini sangat pas,” gumam gadis itu sambal mengatur titik fokus kamera.

Menurutnya ini pengambilan gambar yang pas sekali karena tidak membelakangi sinar matahari pagi. Matahari masih sepenggalah. Gambar yang diambil kemungkinan cukup bagus. Tidak perlu pencahayaan karena sudah dibantu oleh cahaya matahari pagi yang hangat dan terang. Gadis itu berteriak, mantap! Sambil memberikan isyarat dengan jempolnya.

Action!” teriaknya.

Cut, cut!” katanya sambil menggerakkan tangannya untuk menghentikan aksi gadis berlumpur.

Setelah beberapa kali percobaan yang gagal, akhirnya mereka menemuka format yang pas. Ia membuka rekaman uji coba. Ada pengambilan gambar yang terkesan dibuat-buat (padahal memang dibuat-buat). Iapun men-delet-nya. Ini yang Namanya kamera jahat. Mengapa gambar yang ia ambil tidak sebagus kenyataannya? Gadis itu nyengir sambil dengan gemes menghapus video yang baru saja direkamnya. Itu perbuatan buang-buang waktu, pikirku. Sekali lagi, itu memang perbuatan membuang-buang waktu, pikirku. Tapi mungkin saja tidak, sebab itu menjadi satu langkah untuk langkah berikutnya.Jangan menyerah, gumam gadis itu.

Gadis itu mulai menanam padi bersama perempuan lain. Ia menanam padi dengan langkah mundur, maka disebut dengan tandur. Menata dengan cara mundur. Ini langkah mundur dalam sejarah yang disukai orang, yaitu orang menanam padi. Padi ditanam dengan teratur  mulai dari depan terus mundur. Padi ditanam satu persatu di tanah gembur dengan teratur.

“Baru kali ini tandurku disyuting,”ujar salah satu perempuan yang memakai tudung.

“Ini karena Mbak Ayu pulang dari kota,”balas perempuan yang di sampingnya.

Loh, apa hubungannya antara Mbak Ayu dengan pekerjaan mereka? Ternyata ortunya Mbak Ayu itu pemilik sawah ini.

“O, sudah jadi orang kota, ya?” tanya perempuan berbaju merah.

“Sudah lamaaa,” sahut gadis bertopi yang ternyata dipanggil Ayu.

“Kamu ketinggalan informasi,” sahut yang lain.

“Maklum belum menjadi anggota whattsap grup,” balas gadis yang ada di dalam gubuk.

Mereka asyik dengan pekerjaannya. Seperti tak mengenal lelah. Setengah petak sawah sudah mereka selesaikan. Sesekali mereka mencermati hasil pekerjaanya. Padi tertata dengan teratur mulai dari pinggir sawah. Tanah yang gembur mempercepat pekerjaan mereka. Satu persatu bibit padi yang dicabut dari uritan selesai ditanam. Bibit padi segar datang lagi yang diantarkan seorang laki-laki bercaping. Ia yang menjadi petugas khusus untuk mencabut bibit padi di uritan.

Petugas yang ndaut uritan bekerja dengan penuh semangat. Apalagi melihat teman-temannya bekerja dengan cekatan. Tidak ada hambatan yang berarti dalam pekerjaan ini. Tanah uritan tidak keras sehingga bibit padi dapat dicabut dengan mudah. Bibit padi yang akan ditanam termasuk bibit unggul yang tahan terhadap serangan wereng, tungro, hawar, dan lainnya.

“Ini jenis padi apa pak?” tanyaku kepada orang yang sedang ndaut.

“O, ini padi yang menghasilkan beras wangi atau harum ras 'Cianjur Pandanwangi' , kata orang padi ini telah menjadi kultivar unggul, sedangkan yang satu petak di sana itu jenis 'rajalele'. Kedua kultivar ini adalah varietas javanica,” katanya menjelaskan.

Petani ini memiliki pengetahuan yang luas tentang padi yang akan ditanamnya. Ia telah memperoleh pengetahuan tersebut dari para petugas penyuluh yang sering mendatangi rumahnya. Di desa ini sudah ada kelompok tani yang diberi nama Bareng Makmur. Ketua kelompok tani ini ya, bapak yang sedang men-daut bibit di uritan tadi. Beberapa jenis padi unggul sudah ia tanam. Hasil panen selalu tidak mengecewakan. Di wilayah kabupaten hasil panen para petani di desanya menjadi percontohan untuk daerah lain. Di desa ini para petani telah memiliki bekal pengetahuan tentang bibit padi yang akan ditanamnya. Itu salah satu rahasia kenapa panennya melimpah. Hasil panen hampir tak tertandingi dengan daerah lain.

“Kita ngopi dulu, mas!” ajak petani yang baru selesai cabut bibit.

“Memang ada kopi, pak?” tanyaku penasaran.

“O, ada. Saya bawa kopi dan termos air panas. Mari, kita ke gubuk dulu, istirahat sebentar!” ajak petani itu sambil menepuk bahuku.

Petani tadi mengeluarkan kopi yang terbungkus aluminium foil, beberapa gelas dan sendok teh. Ia mulai menuangkan kopi ke dalam dua, eh, tiga gelas yang ada di depannya.

“Pakai gula?” tanya petani itu.

“Tidak, pak. Aku sudah terbiasa minum kopi tanpa gula,” kataku menjelaskan.

“Loh, kok sama dengan saya?” ujarnya sambil memandangku.

“Kebetulan saja, pak!” ujarku sambil nyengir.

“Ini anak saya yang mengajari supaya minum kopi tanpa gula. Manfaatnya lumayan. Meski saya sudah berumur, berat badan saya tetap stabil, jantung normal, kulit tetap segar, gula darah baik, dan yang lebih penting lagi semangat dan mood untuk kerja tahan lama,” kata petani itu sambil menuangkan air panas ke dalam gelas.

Ia mengaduk kopi dengan pelan, kemudian menyodorkan kepadaku sambil berkata,”Ayo, ngopi dulu!”

“Terima kasih,” jawabku pendek sambil tersenyum.

“Petani sudah tidak sumringah lagi. Produktivitas menurun, yang mau jadi petani itu generasi tua yang pendidikannya rendah. Pemerintah harus membujuk generasi milenial  agar mau terjun ke sektor pertanian.”

“Lebih sering harga komoditas pangan jatuh saat panen, ini yang memberi kontribusi pada rendahnya penghasilan petani. Harga gabah anjlok. Para petani nglokro,” katanya dengan ekspresi sedih. Ia melanjutkan,”Harus ada yang berperan menjaga stabilitas harga pada saat petani panen raya, syukur menghentikan impor-impor itu. Supaya harga tetap stabil setiap datangnya panen yang melimpah. Itu yang diharapkan,” katanya sambil menyeruput kopi pahit yang pekat.

"Upah buruh tidak seberapa, seporsi sate saja gak dapat. Dapat dibilang tidak layak. Buruh tani banyak yang beralih kerja menjadi buruh bangunan. Ongkos kerja kuli bangunan lebih tinggi sehingga menarik mereka untuk meninggalkan pekerjaan lamanya," imbuhnya.

Obrolan semakin lama semakin asyik. Tak terasa kopi pahit tinggal sedikit di pantat gelas. Petani di depanku ini memiliki ilmu bertani yang luas. Tetapi ilmu bertani yang luas itu seperti tidak berfaedah, oleh keadaan komoditi pertanian yang pasarnya kurang bahkan tidak menjanjikan.

Aku menengok ke kanan ke kiri, kok sepedaku tidak ada di tempatnya. Aku segera berdiri dan bergegas menuju jalan tengah sawah. 

“Maaf, pak saya nengok sepeda dulu,” kataku sambil berjalan ke jalan.

Siapa yang membawa sepedaku? Sepeda tuaku sudah tidak ada di tempatnya. Ada yang telah membawa pergi sepeda tuaku. Tadi saya parkir di pinggir jalan. Tidak menaruh curiga apapun pada orang yang lewat di jalan ini.

Kejadian ini membuatku gugup. Suasana tidak nyaman berbaur dengan panas matahari siang membuat keringat meleleh di keningku. Aku mencari handphone di saku celana. Aduh handphoneku tadi saya tinggal di tas kecil yang menggelantung pada sepeda. Lengkap sudah deritaku hari ini***

Minggu, 04 Juli 2021


Presentasi tentang Interaksi Guru - Murid, Kesenjangan antar Generasi dalam Penguasaan Teknologi Informasi:




Kamis, 01 Juli 2021

Orang menganggap hidup ini menjadi ajang pergulatan antara taat dan maksiat. Pada saat seseorang taat maka ia akan merasakan bahwa itu sesuatu yang indah. Sesuatu yang indah bagi mata akan memberi rasa senang, seperti ada pemandangan alam di depan matanya, rumput hijau, aliran air sungai, kicau burung yang meloncat kesana kemari. Kesunyian juga menjadi indah, di antara ilalang yang masih basah oleh embun. Ia sedang membekukan perasaannya. 



Cover Syiffa Syahla




Putus atau Terus 

aku sedang bertanya tanya
tentang perasaan kita
benarkah kita saling mencinta
atau hanya pernah saling cinta

bukankah kamu juga merasa
dingin mulai menjalari percakapan kita
pertanyaan kamu sedang apa
terkesan hanya sebuah formalitas saja

coba tanyakan lagi pada hatimu
apakah sebaiknya kita putus atau terus
kita sedang mempertahankan hubungan
atau hanya sekedar menunda perpisahan

bukankah kamu juga merasa
dingin mulai menjalari percakapan kita
pertanyaan kamu sedang apa
terkesan hanya sebuah formalitas saja

coba tanyakan lagi pada hatimu
apakah sebaiknya kita putus atau terus
kita sedang mempertahankan hubungan
atau hanya sekedar menunda perpisahan

bila kamu tanya aku maunya apa
aku mau kita terus bersama

coba tanyakan lagi pada hatimu
kita sedang mempertahankan hubungan
atau hanya sekedar oooh
hanya sekedar menunda perpisahan


Sabtu, 26 Juni 2021


RUMAH DI MIMPIMU

rumahmu
terletak di pinggir kali kecil
dengan air yang jernih mengalir
gemercik suaranya
di antara bebatuan
di depan beranda
ada pohon-pohonan
tidak terlalu besar
tidak terlalu kecil
ada tempat memandang
tempat yang jauh
tempat berarak awan
sampai ke kaki langit,
sebagaimana
panembahan senopati
memandang horizon
dan di samping
ada beberapa ayam jantan
yg berkokok lantang
saat fajar menggugah lelap,
lalu di samping kiri
ada domba-domba jantan
di sayap kanan rumah
tanaman-tanaman dengan bunga
yang harum,
dan seterusnya
....

Purbalingga, 21 Juni 2019



Rabu, 23 Juni 2021

Ketika ditanya siapa namamu? Ia menjawab pendek, namaku Syifa. Nama yang cantik secantik orangnya. Ini bukan waktu bermain, kok dia ada di sini, di tempat mencuci motor dan mobil. Dia asyik mencuci motor orang. Tampak serius sekali dengan pekerjaannya. 

"Kamu tidak sekolah, Syifa?" tanyaku.

Syifa hanya menggeleng. Ia melanjutkan bersih-bersih motor. Ambil sampo kemudian mencampurnaya dengan air. Kemudian mengaduk-aduknya.

"Kamu tidak sekolah, Syifa?" tanyaku.

Ia menjawab dengan gelengan kepala. Sesekali menyeka keningnya yang terganggu oleh rambutnya. Anak yang aneh. Mencuci motor itu umumnya dikerjakan pekerjaan lelaki. Pekerjaan itu tidak mudah. Harus membersihkan bagian-bagian yang kotor di bagian yang sulit, bagian bawah mesin, bagian dalam slebor, bawah jok, dan lainnya. 

Dua orang temannya laki-laki remaja mungkin lulusan Sekolah Menengah Atas. Satu laki-laki tampak tato di lengannya. 


Minggu, 20 Juni 2021

 


PERTEMUAN MAHASISWA
WS Rendra

Matahari terbit pagi ini mencium bau kencing orok di kaki langit, melihat kali coklat menjalar ke lautan, dan mendengar dengung lebah di dalam hutan. Lalu kini ia dua penggalah tingginya. Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan. Kita bertanya : Kenapa maksud baik tidak selalu berguna. Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga. Orang berkata " Kami ada maksud baik " Dan kita bertanya : " Maksud baik untuk siapa ?" Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina Ada yang bersenjata, ada yang terluka. Ada yang duduk, ada yang diduduki. Ada yang berlimpah, ada yang terkuras. Dan kita di sini bertanya : "Maksud baik saudara untuk siapa ? Saudara berdiri di pihak yang mana ?" Kenapa maksud baik dilakukan tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya. Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota. Perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja. Alat-alat kemajuan yang diimpor tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya. Tentu kita bertanya : "Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?" Sekarang matahari, semakin tinggi. Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala. Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya : Kita ini dididik untuk memihak yang mana ? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan ? Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Malam akan tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok. Dan rembulan akan berlayar. Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda. Akan hidup di dalam bermimpi. Akan tumbuh di kebon belakang. Dan esok hari matahari akan terbit kembali. Sementara hari baru menjelma. Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan. Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra. Di bawah matahari ini kita bertanya : Ada yang menangis, ada yang mendera. Ada yang habis, ada yang mengikis. Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana ! Jakarta 1 Desember 1977 Potret Pembangunan dalam Puisi

 



SEBATANG LISONG
WS Rendra

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977
ITB Bandung
(Yang Muda Yang Bercinta 1977)