Buah yang sudah dikupas tersaji di atas meja. Buah segar dengan aroma yang khas yang menggugah selera.
Just another free Blogger theme
Just another free Blogger theme
Buah yang sudah dikupas tersaji di atas meja. Buah segar dengan aroma yang khas yang menggugah selera.
Kepadamu
Oleh Yudi Karsono
menatap mentari pagi ini
polos diiringi nyanyian katak dan burung-burung
indah beranda langit pagi
ini lukisan
karya yg sempurna
Bergetar kumenatap pesona pagi
sepanjang mata hamparan tumbuhan aneka bentuk dan warna
desain seni rupa yang tiada tara
perhatikanlah, ada keladi di pinggir kali dengan daunnya berayun
ke kanan ke kiri seperti sedang melantunkan zikir khusuk
memuji
dari daunnya yang warna-warni yang menandakan kalau dirinya
tercipta
dari sang Maha Indah
Bergetar jiwaku mendengar orchestra yang menakjubkan ini
daun-daun menyapa dengan lambaian bahagia bersama embun
bunga glagah yang mekar menari bermain dengan angin silih
berganti
gemercik air pancuran dan sayup-sayup kokok ayam hutan menyapa
Sungguh lidahku dilanda kelu untuk mengatakan sesuatu
kemudian mataku hanya dapat memandang semua ini
dalam haru kekaguman yang dalam
dalam kreasi harmoni yang sangat daetail ini
dari sang Pencipta alam semesta
Purbalingga, 13 Agustus 2021
Sepotong Senyum yang Selalu Indah
Oleh Yudi Karsono
duduk di peron stasiun
sengaja kudatang lebih awal
menunggumu
bersama sahabat dan pelayan kantin
yang selalu tersenyum
senyum yang selalu indah
apakah hidupmu tak pernah sedih, sahabat?
tidak, jawabmu
pada waktu dan ruang yang sama
peran ini harus dimainkan dengan gembira
bukankan ini sebuah skenario
dari sebuah kisah?
jadi semua harus diterima apa adanya
berdasarkan peran-peran yang tertulis di sana
karenanya tak perlu kecewa
hidup itu perjalanan
atau ibarat kita sedang nongkrong menikmati secangkir kopi
dan apapun, dan tak perlu bayar mahal
atas nama persahabatan,
sumpah aku sangat betah di sini
karena rindu senyummu
senyum yang selalu indah
itu alasan pertama
senyum dari sang rembulan
sumpah, senyum kamu itu sangat indah
kamu manusia yang berhati malaikat
berwajah bidadari
dan berhati mulia
biarkan saja jalan hidupmu menjadi sebuah kisah
hadir dan pergi seperti kereta
singgah silih berganti
hingga berakhir nanti
Surakarta, 12 bulan Juli 2000
HUJAN DAN MIMPI
Oleh Yudi Karsono
Ada anak-anak yang bermain di pelataran
berbasah-basahan dengan canda dan tawa
seakan yang datang dari langit itu sebuah hadiah
kepada mereka
Ada anak-anak yang berlarian di bawah derasnya hujan
seakan perjamuan untuk sahabat yang baru datang
tak ada kesedihan
itu barusan berlabuh dan pergi perahu mereka
terbawa arus anak sungai hingga ke muara
dan anak-anak pun membangun sebuah telaga
dari permainan yang terindah
menanti hari cerah untuk membersihkan luka-luka
yang ada dalam jiwa pengelana
Anak-anak berlarian dan berteriak di atas perahu
berlabuh pada samudera luas dengan buih gelombang
seakan tak ada batu karang yang menghadang
berpayung langit yang terbentang luas
beriring angin harapan
Anak-anak berlarian beriring bersenandung hujan
diiringi daun-daun yang mendayu di pelataran
Derai hujan membawanya pada mimpi
tentang masa
saat bareng memandang langit dan kita
bila permainan terus berlanjut pada hari esok
untuk kembali mengenang bola klaras pisang yang tak bulat lagi
yang akan ditendangnya keras-keras sambil berteriak
Akulah pemenangnya! Akulah pemenangnya!
Mereka tertawa, membiarkan diri mereka menjadi pemenang
we are champion ....
memang ini sebuah kemenangan yang harus dirayakan
Sayap-sayap Putih
Oleh Yudi Karsono
Saat sayapku mengembang
kutatap cakrawala biru yang mempesona
awan berarak menyambut pagi
padang savana yang masih basah oleh embun
dan dendang nyanyian daun
diiringi irama dan aroma bunga-bunga mekar
di alam tebing-tebing, lembah gemulai
satwa yang terbangun dari tidurnya
kabut tipis yang menepi dari keheningan
suara kicau burung-burung
cahaya pagi yang menerobos pepohonan
dan desah pucuk-pucuk daun kemerahan
seperti zikir pagi yang mendamaikan
membiarkan sepi mencinta memeluk diri
memekarkan jiwa yang mengelana
di jalan setapak
yang bersahabat
dengan kakimu tanpa alas kaki
membiarkan gemercik air menyusuri liku-liku
sungai yang masih sangat perawan
tersenyum menyambut Mentari
dari celah rimbunnya kehidupan
jangkerik dan belalang yang bersembunyi
embun pagi yang enggan beranjak
tetap bening dengan tingkah menggemaskan
dedaunan
hanya ada senyum di pagi yang tenteram
bersama pantulan-pantulan kasih
pada rerumputan, daun-daun pakis dari celah belantara
Gadis yang bola matanya bening itu sedang berdiri di tepi telaga. Ada temannya di situ, beberapa murid perempuan, dan guru-guru mereka, sepertinya. Mereka sedang asyik menikmati pemandangan telaga yang sudah dangkal karena endapan lumpur yang bercampur belerang. Endapan lumpur berasal dari perbukitan yang semakin botak seperti kepala bapak kepala sekolah (maaf, sepertinya tidak ada hubungan).
Telaga
ini menjadi objek wisata yang menarik. Orang menyebutnya telaga warna, karena
keunikan warna air yang sering berubah-ubah. Kadang berwarna kuning, hijau,
atau mirip warna-warna pelangi. Fenomena ini terjadi karena keadaan air yang bercampur belerang, sehingga air telaga
memantulkan cahaya matahari berwarna-warni. Lebih tepatnya, besok akan ia
tanyakan kepada guru fisika di sekolah.
Sejak
turun dari bis ia merasakan sesuatu di perutnya: lapar! Ia menahan rasa lapar dalam
waktu yang lama, dari tadi sampai sampai saat ini. Sampai ada suara yang
membuat dirinya seperempat kaget. Ia membalik kanan, melihat sumber suara yang memberinya
angin. Angin surga itu memberi harapan dan kepastian. Paling tidak ada sesuatu
yang diharapkan.
“Teman-teman,
kita istirahat untuk makan mi ongklok,” ajak cowok yang memakai kupluk wind
stopper menebar kabar gembira.
Siapa
yang mengajaknya makan mi ongklok? Dia bukan teman satu kelas. Menurut feeling-nya
seperti penghuni kelas akhir jurusan ilmu sosial, atau siapapun itu tidak cukup
penting. Siapapun dia, yang pasti jiwanya sosial banget. Orang ini yang akan
berjasa mengakhiri rasa lapar, dan rasa laparlah yang membuat gadis bertopi itu
tidak berpikir panjang untuk menerima ajakan makan. Tak peduli apa yang akan
dimakan. Maaf, sebenarnya ia jarang banget atau kurang mood makan
kuliner tersebut di atas. Tidak tahu, mungkin ada phobia pada makanan sejenis
itu. Jangan memandang apa yang akan dimakan, tetapi lihatlah siapa yang
mengajak makan? Itu yang paling penting.
Ia
ingin sekali mendekati paman yang sedang menyiapkan makanan. Ia harus
menyampaikan bahwa mi untuknya tidak pakai saus, tidak pakai micin, tidak pakai
bawang merah, tidak pakai sambal, dan tidak pakai daun caisim. Lalu apa yang
akan dimakan? Ia malas beranjak untuk menyampaikannya kepada paman itu.
Enggan merespon berlebih terhadap
kebaikan orang lain. Pertama, tidak mau
dikatakan memanfaatkan. Kedua, tidak mau sok akrab, sok dekat, karena memang
tidak akrab dan tidak dekat. Jadi ia tidak akan menawar atau berusaha untuk
menyampaikan keinginannya. Ia membiarkan semua ini terjadi apa adanya saja. Gadis
bertopi itu tersenyum-senyum sendiri, menyadari apa yang sedang berputar-putar
di kepalanya.
Ia
merasa senang dapat hadir di ruang makan mi ongklok yang terkenal. Owner-nya
masih sangat muda, mahasiswa semester awal di sebuah universitas ternama di
Yogya. Kapan-kapan pengin datang lagi ke tempat ini, kepoin yang punya. Masih
muda sudah banyak duit. Ia amat penasaran dan pengin mengikuti jejaknya menjadi
pebisnis sukses.
Beberapa
makhluk sudah duduk menunggu di ruang makan. Jumlah mereka sembilan orang.
Duduk dari kiri ke kanan: AK, UL, AP, AR, BA, NG, dan ET. Kemudian yang
berlawanan arah HE, dan terakhir bosque siang ini, inisialnya BAT. Sebagian
besar belum keluar suaranya, padahal sudah lama sering berjumpa. Beberapa saat
mereka berusaha duduk dengan nyaman sambil mendengarkan musik. Belum ada yang
menanyakan siapa dan darimana makhluk yang mengajaknya makan mi ongklok. Apa
yang akan ditanyakan, sedang dipikirkan. Sepertinya aneh kalau hanya akan
menanyakan, di mana rumahmu? Atau siapa saja temanmu?
“Permainan
ST kemarin sangat bagus?” dia memulai pembicaraan.
“Dia
berbakat sejak kecil, cerdas banget cara bermain fingerstyle-nya,” balas
temannya, gadis bertopi.
“Colab
sama kamu bagus banget,” dia mengusulkan sambil menunjuk gadis bertopi.
“Setuju,”
teman-temannya secara aklamasi menyetujuinya.
“Apa-apan?
Suaraku fals,” kata gadis bertopi berusaha merendah.
“Suaramu
bagus dan pastinya keren mantap, dan bikin melayang-layang,” ujar UL seraya
mengeluarkan jempolnya.
“Dasar
tukang hoaks,” sambung gadis bertopi yang ternyata berinisial AK.
“Ketagihan
karena penyanyinya cantik,” sela UL.
“Cantik
wajahnya dan bagus suaranya. Dia komplit banget,” yang lain menimpali.
“Siapa
yang kalian maksud, teman-teman? Itu namanya sesat opini saja, bicara tidak
berdasarkan fakta,” bantah gadis bertopi sambil menyeruput wedang.
“Bicara
itu yang komplit, aku mengingatkan saja. Hari ini ada yang komplit banget dan
menghangatkan, lihat nih! Wedang rempah ini. Komposisinya: buah kapulaga, cengkeh, serai, jahe bakar,
kayu manis, secang, gula batu, madu, dan air. Ini baru komplit dan hangat,”
kata gadis bertopi ngelindur panjang lebar.
“Iklan,”
BAT ikutan menyela.
“Padahal
saya ingin dirimu tampil tanpa iklan,” ujar AP dengan wajah lucu.
Makanan
yang sudah lama mereka tunggu segera datang bersama aroma yang merangsang
selera. Gadis bertopi menanyakan, ada tambahan nasi gak? Ada, kata paman yang
meracik makanan. Bahkan ada menu pendamping sate kambing muda yang mereka sebut
sate cempe balibul. Menu utamanya mi ongklok ditambah sate kambing, ditambah
wedang rempah, ditambah tempe kemul, dan lain-lain sesuai dengan selera
masing-masing. Makanan tambahan yang lumayan lengkap.
Menu
sate cempe balibul penyelamat perutnya yang sudah menjerit minta diisi. Selera
makannya tiba-tiba melejit. Asap nasi hangat dengan sate kambing membuatnya
menahan liur. Wow, maklum orang kelaparan harus membuang basi-basi, yang memang
tidak diperlukan. Kalau diperhatikan maka menu utamanya menjadi kabur.
Mula-mula mi ongklok yang hanya diracik dengan kuah dan kecap. Kok, menu mi
ongkloknya gak disantap duluan? Atau bakalan dibungkus saja? Gadis bertopi
hanya teresenyum, merasa ada yang janggal dan lucu.
“Makanan
semua harus habis. Bagi yang tidak habis dapat dibungkus dan dibawa pulang”
ujar BAT mengingatkna teman-temannya.
“Kalau
nambah bagaimana?” ujar AK.
“Doyan
apa kelaparan?” tanya UL.
“Keduanya
menyatu,” ujar LA sambil terkekeh.
“Pak
gurumu tidak sekalian diajak makan?” tanya gadis bertopi.
“Dia
bareng sesama guru. Nanti, kita cari oleh-oleh saja untuk beliau,” ujar BAT menjawab pertanyaan gadis bertopi.
“Setelah
ini kita berjalan ke candi-candi, dan kawah belerang. Jangan lupa pakai masker,
karena bau belerangnya masing sangat menyengat. Ada yang bawa telur? Kita rebus
telur di sana. Telur yang direbus dengan air belerang khasiatnya luar biasa.
Bagi yang belum percaya nanti harus coba,” ujar BAT sambil menerangkan sesuatu
yang terdengar aneh di telinga teman-temannya.
“Setahu
saya belum ada penelitian yang berkaitan dengan telur yang direbus dengan air
belerang,” kata gadis bertopi sedikit bersikap ilmiah.
BAT
hanya tersenyum. Mengapa kalian harus serius dengan candaanku? Batin BAT
menyikapi sikap gadis bertopi.
“Sudah
tahu asal-usul nama tempat ini? Dieng konon berasal dari kata “di” yang artinya
gunung, dan “hyang” yang artinya dewa. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu,
para dewa itu bermukim di tempat yang
tinggi. Dieng berada di ketinggian 2000
di atas permukaan laut. Suhunya dingin dan menjadi tempat yang cocok merenung,
bermeditasi, dan lain-lain. Mungkin mereka menyukai tempat ini karena tanahnya
subur dan sangat baik untuk budidaya tanaman sayur, seperti kentang, kubis,
wortel, carica, dan purwaceng. Cocok sebagai tempat peristirahatan” ujar BAT
sambil berjalan-jalan memutar kompleks candi.
Tiba-tiba
BAT bertanya kepada teman-temannya, “Kalian tahu khasiat purwaceng?”
“Itu
sejenis tanaman yang berkhasiat untuk keperkasaan pria,” ujar ET yang sudah
lebih dulu mencari informasi kepada penjual purwaceng.
Matahari
sudah tinggi tetapi hawa dingin tetap menempel di kulit. Cuaca masih dingin banget. Pagi tadi suhu mencapai
minus 5 derajat Celsius. Sekarang matahari redup mengintip di balik kabut,
menemani para petani sedang menanam kentang, dan juga para pengunjung kompleks
candi. Di tempat dingin BAT dan teman-temannya pada kelupaan membawa pakaian yang
dapat menghangatkan tubuh.
Hanya
ET yang memakai jaket windbreaker dan celana kargo. Ia sudah terbiasa memakai
perlengkapan pendaki gunung. ET ini sudah beberapa kali mendaki gunung. Sebelum berangkat ET sudah menyiapkan piranti
untuk mengantisipasi cuaca dingin. Ia mengingatkan teman-temannya untuk memakai
fesyen outdoor berhawa dingin. Tapi teman-teman banyak yang lupa, sehingga
hanya membawa jaket hodie doggy dan sarung tangan.
Mereka
berhenti sejenak di sebuah musala. Sudah waktunya untuk salat zuhur. Gadis
bertopi dan teman-temannya berhenti sejenak di tempat itu untuk salat. Jaket
yang sejak tadi menepis udara dingin mereka lucuti sejenak. Mereka menyentuh
air dingin pegunungan. Rasanya mak nyes seperti salju.
Air
di tempat ini seger, dan tentu saja dingin. Mereka mendesis mendapati air yang sedingin
itu. Orang sering menyebutnya dingin-dingin empuk. Rasa penat dan payah seperti
hilang bersama aliran air. Pikirannya melayang, andaikan ada kasur hangat nan
empuk untuk tiduran. Alangkah menyenangkan.
Air
yang sejuk mampu menyegarkan otot-otot kaki setelah berjalan memutar naik dan turun. Air sejuk karunia Tuhan yang membuat musnah
rasa gerah. Berdingin ria tak mengapa, karena di antara hawa dingin masih ada
kehangatan jiwa di antara kita. Keduanya saling membutuhkan. Saat ini
teman-teman terpaksa (atau sengaja) menikmati dinginnya air pegunungan.
Saat
para pelancong dalam negeri itu beristirahat menikmati indahnya pegunungan, seorang
petani mendatangi mereka menawarkan edelweis. Bunga yang tumbuh pada ketinggian
di atas 2000 mpdl itu.
“Edelweisnya,
pak?” kata petani menawarkan dagangannya.
“Ini
edelweis legal, mas?” tanya ET yang tadi sempat dipanggil “pak”. Apakah memang
wajahnya tua mirip kakeknya? Busyet, gerutu ET.
“Beli
edelweiss untuk kenang-kenangan, dik!” kata petani menawarkan dagangannya
kepada gadis bertopi. ET mencermati pedagang edelweiss yang wajahnya tertutup masker.
“Bunga
ini tahan lama, simbol cinta dan kasih abadi,” ujar pedagang itu memulai
obrolan dengan gadis bertopi.
“Edelweis
itu diraih dengan perjuangan, menuruni jurang, mendaki bukit dan gunung. Orang
bersusah payah untuk dapat memilikinya. Itu dulu, sekarang itu tidak berlaku lagi, karena edelweiss dapat
dibeli dengan harga murah. Edelsweis hasil budidaya para petani. Walaupun ini
bunga hasil budidaya, tetapi nilai dan maknanya tetap seperti bunga yang asli
dipetik dari pegunungan yang tinggi,” kata pedagang terus mempengaruhi gadis
bertopi.
“Kebiasaan
para pendaki gunung yang memetik edelweis mulai berkurang setelah petani sukses
membudidayakan edelweis. Bunganya bahkan lebih bagus. Bila anda membeli bunga ini
berarti anda membantu petani untuk bertahan hidup. Janganlah kamu memetik edelweis
yang tumbuh di alam bebas! Itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Hayati Ekosistem pasal 33 ayat 1,” kata pedagang edelweis.
Pedagang
itu seperti bukan pedagang biasa. Perawakannya agak tinggi, memakai pakaian
anak muda yang trendi bahkan banget. Pedagang edelweis itu mengobrol lama. Apa
yang dibicarakan sepertinya asyik. Ia mengaku sebagai mahasiswa sebuah
perguruan tinggi ternama di Yogya.
“Apakah
kamu memiliki kekerabatan dengan owner mi ongklok?” tanya gadis bertopi.
“Bukan,”
jawab pedagang edelweis itu.
“Maksud
saya, bukan tidak mungkin. Banyak kemungkinan dalam hidup ini. Ada kemungkinan
kamu memborong dagangan saya ini. Ayo, belilah semua untuk kamu bagikan kepada
semua temanmu! Kamu itu gadis cantik yang pernah aku lihat. Bola matamu waduh,
bikin jantung saya bertiup kencang dan pikiranku melayang-layang. Kamu memang luar
biasa!” ujar pedagang edelweis sambil mengacungkan jempolnya.
“Aku
jadi teringat, kamu ini pedagang bunga, atau pedagang yang merangkap tukang
ramal, tukang rayu?,” ujar gadis bertopi sedikit kesal.
“Apakah
kamu merasakan saya ini seperti yang kamu pikirkan?”
Gadis
bertopi itu mengangkat topi. Ada sorot tajam di matanya. Pada bola matanya yang
bening itu tampak sangat bening. Gadis itu sedang mengendalikan pikirannya. Ada
sesuatu yang harus segera dia temukan jawabannya. Dia pikir ini soal ulangan bentuk
uraian yang sering ia jumpai di sekolahnya. Soal uraian yang sulit.
Soal
uraian itu dalam bentuk pertanyaan: Siapa dia? Ada kalimat stimulus: Gadis
bertopi menangkap kejanggalan pada diri pedagang edelweis yang ia jumpai.
Menurut informasi yang ia dapat, antara edelweis, pedagang bunga, mi ongklok,
dan orang yang menraktirnya pada hakikatnya merupakan orang yang sama. Tapi
sampai waktu yang ia miliki sudah berakhir, jawaban itu tidak atau belum dia
temukan. ***
Hari
ini matahari pagi hadir dengan sumringah. Hari ini aku datang dengan sepeda tua
buatan Belanda. Sepeda yang lahir pada zaman nenek moyang, generasi baby
boomer. Pakaian yang kukenakan pun melazimkan dengan apa yang aku bawa.
Tidak ada asesoris kekinian yang dapat dibanggakan. Maklum aku belum punya grup
seperti teman-teman, sehingga info tentang macam-macam asesoris tidak
kuketahui. Teman-teman banyak juga yang menyarankan agar aku segera bergabung
dengan berbagai grup sepedaan. Katanya gratis dan tidak ada iuran apapun.
Sampai saat ini saran dan masukan itu belum aku masukkan ke dalam hati. Aku masih
berdua. Berdua dengan sepeda tuaku.
Sepeda
tua melaju di jalan sawah. Jalan yang berlubang dan banyak ditemukan genangan
air, berlumpur dan licin. Jalan becek karena hujan dan aliran air irigasi yang
meluber ke jalan-jalan. Hal tersebut mengakibatkan jalan berbahaya bagi
pengguna yang belum mengenal medan dengan baik. Orang baru dijamin terpersosok
ke dalam kubangan. Bajupun akan basah air bercampur lumpur. Barang siapa ingin
selamat, makai a harus berjalan pelan dan memperhatikan arah yang akan dilalui.
Orang sudah paham, jalan ini sangat sering membuat celaka. Jalan ini rusak
karena terlalu sering dilalui berbagai makhluk. Mulai dari bebek, mentok, sapi,
kerbau, kuda, truk, bis, dan manusia. Jalan ini menanggung beban yang terlalu
berat.
Biarlah
beban berat ditanggung oleh jalan tengah sawah ini. Asal para penggunanya
bahagia, tak mengapa. Banyak pengguna menahan diri untuk mengeluh. Hampir
semuanya berhasil untuk tidak berkata-kata. Berkeluh kesah tiada guna. Perjalanan
di tempat ini tidak dapat ngobrol dan bercanda ria. Orang akan mempercepat
langkah apabila melintasi jalan ini agar dapat terhindar dari bahaya.
Matahari
pagi hadir semakin sumringah Sinarnya kurasakan mulai terasa hangat. Sepedaku
terus melaju melewati jalan tengah sawah. Terbersit dalam hati untuk berhenti
di jalan ini walau hanya sejenak. Aku melihat kanan kiri tanah sawah yang
terbentang luas. Bau lumpur yang mulai mengendap masih tercium segar. Pemandangan
yang indah. Sawah luas membentang siap ditanami padi hari ini.
Aku
turun dari sepeda untuk melihat dari dekat lahan sawah yang siap ditanami bibit
padi. Aku berjalan pada pematang sawah. Gemercik air mengalir terdengar semakin
jelas. Tidak jauh dari tempat aku berdiri ada beberapa orang yang akan memulai
pekerjaannya, menanam bibit padi. Ada
beberapa perempuan berkulit gelap karena teriknya matahari, resiko sebagai
buruh tandur. Mereka menggunakan pelindung kepala tudung yang terbuat dari
anyaman bambu.
Aku
melihat ada gubuk yang tidak jauh dari pematang yang sedang aku lalui. Aku
berhenti dan memeperhatikan makhluk di tengah sawah. Apa yang akan aku lakukan?
Akankah menyapa dengan sapaan, selamat pagi? Kepada orang-orang akan mengawali tanam
padi?. Mereka berkumpul berembug untuk tugas yang akan mereka kerjakan. Kerja
bersama itu mereka namakan dengan tandur. Pekerjaan menanam padi itu diawali
dari arah mata angin yang disepakati,
timur atau barat. Mereka mengawalinya dari arah timur dekat jalan yang sedang
aku lewati.
Orang
yang tandur tidak semuanya pemilik sawah. Mereka dipekerjakan oleh pemilik
sawah atau sebut saja mereka itu buruh upah. Sehabis pekerjaa itu selesai
mereka akan mendapatkan bayaran. Upah yang diterima sesuai dengan harga ongkos
kerja yang berlaku di tempat itu. Ongkos kerja itu dapat untuk membeli satu
porsi sate kambing. Lumayan daripada bengong di rumah. Maklum Sebagian besar
mereka termasuk perempuan desa yang sederhana dan tidak berpendidikan tinggi.
Umurnya pun sudah lewat dari setengah abad. Mereka masuk kategori generasi BB.
Jumlahnya tidak banyak memang, dan ternyata masih sangat dibutuhkan. Tanpa
dibantu oleh para perempuan yang mau berpanas ria itu, pekerjaan tandur tak
bakal selesai.
Ada
sesuatu yang aneh dari mereka. Itu yang membuatku penasaran. Kalau saya hitung,
jumlah semuanya ada lima orang, dan yang keenamnya, itu yang paling aneh
sendiri. Mosok, orang mau tandur pakai kaos oblong, visor cap, dan
celana jeans. Ini sih, pelancong yang akan selfie di tengah sawah. Orang akan
tersenyum atau setidaknya menelan ludah melihat ulah anak gadis milenial yang
suka selfi itu. Dia seperti sedang merancang selfi di tempat ini. Yah, itu
tentu dilakukan setelah dia selfi di mana-mana, di mal, alun-alun, kebun
binatang, kali, jembatan, dan sekarang di sawah yang akan ditanami padi. Keren ‘kan?
“Sini,
aku bantuin ambil gambarnya,” kataku sok akrab kepada pelancong yang
akan selfi di tengah sawah.
“Terima
kasih, bapak. Gue udah pake kamera otomatis. Bapak tidak perlu repot-repot
bantuin gue? Tuh, lihat!” kata perempuan yang memakai visor cap.
Apakah
wajahku sudah tampak tua seperti seorang bapak? Satu kata yang menohok. Sayang
sekali di sini tidak ada cermin untuk berkaca melihat raut wajah. Kupalingkan wajah
pada beningnya air sawah. Sepertinya aku ini masih berwajah bayi, kenapa
dipanggil bapak? Melihat wajah pada pantulan air sawah bukan merupakan jawaban.
Setidaknya kata itu menyisakan sebuah tanda tanya. Aku akan menjawabnya suatu
saat nanti. Tunggu saja!
Aku
berhenti di gubuk sawah yang lumayan bagus. Di dalam gubuk itu ada dua anak gadis
dengan visor cap juga. Ada anak gadis sebaya yang sedang mengatur kamera
dengan menggunakan tripod. Wah, sepertinya ini anak-anak yang kreatif. Mungkin
ia sedang merencanakan pembuatan vlog atau film pendek yang dapat diunggah di
kanal youtube-nya.
“Apa
nama kanal youtubemu? Nanti aku subscribe, like and share,”kataku sambil
tersenyum.
“Wah,
bapak follow IG aku, ya?” tanya si gadis bertopi dan … berlumpur.
“Aku
harus menjawab: aku akan menjadi followermu! Ingat, identitasku, laki-laki yang
suka sepedaan, menyusuri jalan-jalan, kadang ke jalan kota, desa, pelosok,
hutan, dan kali ini, ke jalan becek tengah sawah,” kataku sambil tetap berdiri
di pematang sawah.
“Apakah
bapak tidak takut jantungan?” gadis itu bertanya lagi.
Lagi-lagi
kata-kata menohok keluar dari mulutnya. Jantungan memang aku sudah berumur? Tekanan
darah masih 120 mmHg /80 mmHg. Aku kuat berlari mengelilingi stadion 7 – 10 putaran.
Ini membuktikan jantungku baik-baik saja. Tidak benar sama sekali aku ini
menderita jantungan.
“Loh,
apa orang seperti saya pantas jantungan?” balasku cepat.
Perbincangan
terhenti sejenak. Aku masih berdiri dan kembali terdiam melihat aksi dua gadis
itu. Gadis yang berada di gubuk keluar membawa kamera dan memasang tripod di
pematang sawah. Beberapa saat ia mengatur posisi. Beberapa kali pindah sana
pindah sini. Menempatkan tripod yang pas untuk sasaran yang akan diambil
gambarnya.
“Sepertinya
di sini sangat pas,” gumam gadis itu sambal mengatur titik fokus kamera.
Menurutnya
ini pengambilan gambar yang pas sekali karena tidak membelakangi sinar matahari
pagi. Matahari masih sepenggalah. Gambar yang diambil kemungkinan cukup bagus.
Tidak perlu pencahayaan karena sudah dibantu oleh cahaya matahari pagi yang
hangat dan terang. Gadis itu berteriak, mantap! Sambil memberikan isyarat
dengan jempolnya.
“Action!”
teriaknya.
“Cut,
cut!” katanya sambil menggerakkan tangannya untuk menghentikan aksi
gadis berlumpur.
Setelah
beberapa kali percobaan yang gagal, akhirnya mereka menemuka format yang pas. Ia
membuka rekaman uji coba. Ada pengambilan gambar yang terkesan dibuat-buat
(padahal memang dibuat-buat). Iapun men-delet-nya. Ini yang Namanya
kamera jahat. Mengapa gambar yang ia ambil tidak sebagus kenyataannya? Gadis
itu nyengir sambil dengan gemes menghapus video yang baru saja direkamnya. Itu
perbuatan buang-buang waktu, pikirku. Sekali lagi, itu memang perbuatan
membuang-buang waktu, pikirku. Tapi mungkin saja tidak, sebab itu menjadi satu
langkah untuk langkah berikutnya.Jangan menyerah, gumam gadis itu.
Gadis
itu mulai menanam padi bersama perempuan lain. Ia menanam padi dengan langkah
mundur, maka disebut dengan tandur. Menata dengan cara mundur. Ini langkah
mundur dalam sejarah yang disukai orang, yaitu orang menanam padi. Padi ditanam
dengan teratur mulai dari depan terus
mundur. Padi ditanam satu persatu di tanah gembur dengan teratur.
“Baru
kali ini tandurku disyuting,”ujar salah satu perempuan yang memakai tudung.
“Ini
karena Mbak Ayu pulang dari kota,”balas perempuan yang di sampingnya.
Loh,
apa hubungannya antara Mbak Ayu dengan pekerjaan mereka? Ternyata ortunya Mbak
Ayu itu pemilik sawah ini.
“O,
sudah jadi orang kota, ya?” tanya perempuan berbaju merah.
“Sudah
lamaaa,” sahut gadis bertopi yang ternyata dipanggil Ayu.
“Kamu
ketinggalan informasi,” sahut yang lain.
“Maklum
belum menjadi anggota whattsap grup,” balas gadis yang ada di dalam gubuk.
Mereka
asyik dengan pekerjaannya. Seperti tak mengenal lelah. Setengah petak sawah
sudah mereka selesaikan. Sesekali mereka mencermati hasil pekerjaanya. Padi
tertata dengan teratur mulai dari pinggir sawah. Tanah yang gembur mempercepat
pekerjaan mereka. Satu persatu bibit padi yang dicabut dari uritan selesai
ditanam. Bibit padi segar datang lagi yang diantarkan seorang laki-laki
bercaping. Ia yang menjadi petugas khusus untuk mencabut bibit padi di uritan.
Petugas
yang ndaut uritan bekerja dengan penuh semangat. Apalagi melihat
teman-temannya bekerja dengan cekatan. Tidak ada hambatan yang berarti dalam
pekerjaan ini. Tanah uritan tidak keras sehingga bibit padi dapat dicabut
dengan mudah. Bibit padi yang akan ditanam termasuk bibit unggul yang tahan
terhadap serangan wereng, tungro, hawar, dan lainnya.
“Ini
jenis padi apa pak?” tanyaku kepada orang yang sedang ndaut.
“O,
ini padi yang menghasilkan beras wangi atau harum ras 'Cianjur Pandanwangi' ,
kata orang padi ini telah menjadi kultivar unggul, sedangkan yang satu petak di
sana itu jenis 'rajalele'. Kedua kultivar ini adalah varietas javanica,”
katanya menjelaskan.
Petani
ini memiliki pengetahuan yang luas tentang padi yang akan ditanamnya. Ia telah
memperoleh pengetahuan tersebut dari para petugas penyuluh yang sering
mendatangi rumahnya. Di desa ini sudah ada kelompok tani yang diberi nama Bareng
Makmur. Ketua kelompok tani ini ya, bapak yang sedang men-daut bibit di uritan
tadi. Beberapa jenis padi unggul sudah ia tanam. Hasil panen selalu tidak
mengecewakan. Di wilayah kabupaten hasil panen para petani di desanya menjadi
percontohan untuk daerah lain. Di desa ini para petani telah memiliki bekal pengetahuan
tentang bibit padi yang akan ditanamnya. Itu salah satu rahasia kenapa panennya
melimpah. Hasil panen hampir tak tertandingi dengan daerah lain.
“Kita
ngopi dulu, mas!” ajak petani yang baru selesai cabut bibit.
“Memang
ada kopi, pak?” tanyaku penasaran.
“O,
ada. Saya bawa kopi dan termos air panas. Mari, kita ke gubuk dulu, istirahat
sebentar!” ajak petani itu sambil menepuk bahuku.
Petani
tadi mengeluarkan kopi yang terbungkus aluminium foil, beberapa gelas dan
sendok teh. Ia mulai menuangkan kopi ke dalam dua, eh, tiga gelas yang ada di
depannya.
“Pakai
gula?” tanya petani itu.
“Tidak,
pak. Aku sudah terbiasa minum kopi tanpa gula,” kataku menjelaskan.
“Loh,
kok sama dengan saya?” ujarnya sambil memandangku.
“Kebetulan
saja, pak!” ujarku sambil nyengir.
“Ini
anak saya yang mengajari supaya minum kopi tanpa gula. Manfaatnya lumayan.
Meski saya sudah berumur, berat badan saya tetap stabil, jantung normal, kulit
tetap segar, gula darah baik, dan yang lebih penting lagi semangat dan mood
untuk kerja tahan lama,” kata petani itu sambil menuangkan air panas ke dalam
gelas.
Ia
mengaduk kopi dengan pelan, kemudian menyodorkan kepadaku sambil berkata,”Ayo,
ngopi dulu!”
“Terima
kasih,” jawabku pendek sambil tersenyum.
“Petani
sudah tidak sumringah lagi. Produktivitas menurun, yang mau jadi petani itu
generasi tua yang pendidikannya rendah. Pemerintah harus membujuk generasi milenial
agar mau terjun ke sektor pertanian.”
“Lebih
sering harga komoditas pangan jatuh saat panen, ini yang memberi kontribusi
pada rendahnya penghasilan petani. Harga gabah anjlok. Para petani nglokro,”
katanya dengan ekspresi sedih. Ia melanjutkan,”Harus ada yang berperan menjaga
stabilitas harga pada saat petani panen raya, syukur menghentikan impor-impor
itu. Supaya harga tetap stabil setiap datangnya panen yang melimpah. Itu yang
diharapkan,” katanya sambil menyeruput kopi pahit yang pekat.
"Upah
buruh tidak seberapa, seporsi sate saja gak dapat. Dapat dibilang tidak layak. Buruh
tani banyak yang beralih kerja menjadi buruh bangunan. Ongkos kerja kuli
bangunan lebih tinggi sehingga menarik mereka untuk meninggalkan pekerjaan lamanya,"
imbuhnya.
Obrolan
semakin lama semakin asyik. Tak terasa kopi pahit tinggal sedikit di pantat
gelas. Petani di depanku ini memiliki ilmu bertani yang luas. Tetapi ilmu bertani yang luas itu seperti tidak berfaedah, oleh keadaan komoditi pertanian
yang pasarnya kurang bahkan tidak menjanjikan.
Aku
menengok ke kanan ke kiri, kok sepedaku tidak ada di tempatnya. Aku segera
berdiri dan bergegas menuju jalan tengah sawah.
“Maaf,
pak saya nengok sepeda dulu,” kataku sambil berjalan ke jalan.
Siapa
yang membawa sepedaku? Sepeda tuaku sudah tidak ada di tempatnya. Ada yang
telah membawa pergi sepeda tuaku. Tadi saya parkir di pinggir jalan. Tidak
menaruh curiga apapun pada orang yang lewat di jalan ini.
Kejadian
ini membuatku gugup. Suasana tidak nyaman berbaur dengan panas matahari siang
membuat keringat meleleh di keningku. Aku mencari handphone di saku celana.
Aduh handphoneku tadi saya tinggal di tas kecil yang menggelantung pada sepeda.
Lengkap sudah deritaku hari ini***
Orang menganggap hidup ini menjadi ajang pergulatan antara taat dan maksiat. Pada saat seseorang taat maka ia akan merasakan bahwa itu sesuatu yang indah. Sesuatu yang indah bagi mata akan memberi rasa senang, seperti ada pemandangan alam di depan matanya, rumput hijau, aliran air sungai, kicau burung yang meloncat kesana kemari. Kesunyian juga menjadi indah, di antara ilalang yang masih basah oleh embun. Ia sedang membekukan perasaannya.
aku sedang bertanya tanya
tentang perasaan kita
benarkah kita saling mencinta
atau hanya pernah saling cinta
bukankah kamu juga merasa
dingin mulai menjalari percakapan kita
pertanyaan kamu sedang apa
terkesan hanya sebuah formalitas saja
coba tanyakan lagi pada hatimu
apakah sebaiknya kita putus atau terus
kita sedang mempertahankan hubungan
atau hanya sekedar menunda perpisahan
bukankah kamu juga merasa
dingin mulai menjalari percakapan kita
pertanyaan kamu sedang apa
terkesan hanya sebuah formalitas saja
coba tanyakan lagi pada hatimu
apakah sebaiknya kita putus atau terus
kita sedang mempertahankan hubungan
atau hanya sekedar menunda perpisahan
bila kamu tanya aku maunya apa
aku mau kita terus bersama
coba tanyakan lagi pada hatimu
kita sedang mempertahankan hubungan
atau hanya sekedar oooh
hanya sekedar menunda perpisahan
RUMAH DI MIMPIMU
rumahmu
terletak di pinggir kali kecil
dengan air yang jernih mengalir
gemercik suaranya
di antara bebatuan
di depan beranda
ada pohon-pohonan
tidak terlalu besar
tidak terlalu kecil
ada tempat memandang
tempat yang jauh
tempat berarak awan
sampai ke kaki langit,
sebagaimana
panembahan senopati
memandang horizon
dan di samping
ada beberapa ayam jantan
yg berkokok lantang
saat fajar menggugah lelap,
lalu di samping kiri
ada domba-domba jantan
di sayap kanan rumah
tanaman-tanaman dengan bunga
yang harum,
dan seterusnya
....
Ketika ditanya siapa namamu? Ia menjawab pendek, namaku Syifa. Nama yang cantik secantik orangnya. Ini bukan waktu bermain, kok dia ada di sini, di tempat mencuci motor dan mobil. Dia asyik mencuci motor orang. Tampak serius sekali dengan pekerjaannya.
"Kamu tidak sekolah, Syifa?" tanyaku.
Syifa hanya menggeleng. Ia melanjutkan bersih-bersih motor. Ambil sampo kemudian mencampurnaya dengan air. Kemudian mengaduk-aduknya.
"Kamu tidak sekolah, Syifa?" tanyaku.
Ia menjawab dengan gelengan kepala. Sesekali menyeka keningnya yang terganggu oleh rambutnya. Anak yang aneh. Mencuci motor itu umumnya dikerjakan pekerjaan lelaki. Pekerjaan itu tidak mudah. Harus membersihkan bagian-bagian yang kotor di bagian yang sulit, bagian bawah mesin, bagian dalam slebor, bawah jok, dan lainnya.
Dua orang temannya laki-laki remaja mungkin lulusan Sekolah Menengah Atas. Satu laki-laki tampak tato di lengannya.