Cerpen: Pak Juki


Pak Juki tampak sangat sibuk. Banyak tugas dari kepala sekolah yang harus ia selesaikan. Akreditasi, penilaian kinerja, lomba sekolah sehat, lomba tingkat penggalang, laporan keuangan, up date data pendidik, mengoreksi pekerjaan siswa, membuat analisis penilaian, membuat program pengayaan- perbaikan, mengajar ekstrakurikuler, mengikuti program pelatihan online, dan beberapa tugas lainnya yang secepatnya harus selesai. Semua tugas itu Pak Juki hadapi dengan kepala dingin sebagaimana tekad dan kemauannya, meskipun kenyataannya kepalanya tetap hangat melebihi hangatnya bubur ayam yang ia beli setiap pagi. Beberapa kali ia memegang kening sambil menyuruh otaknya membuat prioritas dan meyakinkan dirinya bahwa kepalanya masih ada..
            Hal yang cukup menyolok dari penampilan Pak Juki yakni adanya rambut yang makin menipis di kepalanya, mungkin salah satu penyebabnya, karena banyak berpikir. Kepalanya sudah separuh pelontos, terutama bagian atas, mengkilap bagaikan porselen. Pak Juki yang biasa dipanggil murid-muridnya dengan Sang Guru mungkin termasuk orang yang paling cepat mengalami kebotakan di antara teman-temannya. Kepala botak memperkokoh kesan kalau Sang Guru memang seorang guru, walaupun tidak semua guru kepalanya botak. Pak Juki sering mencurahkan isi hatinya kepada teman-teman terdekatnya, alangkah senangnya orang yang memiliki rambut hitam dan tebal. Ia dapat tampil lebih percaya diri di depan murid-murid. Mungkin juga ia akan memiliki kebahagiaan tersendiri ketika memakai minyak rambut tertentu yang harum semerbak baunya.
            Tidak hanya pelontos, rambut Sang Guru yang masih tersisa ternyata sudah  memutih alias menjadi uban, karenanya ia mendapat ledekan teman-teman sejawatnya, sebagai pendekar berambut perak yang sudah meninggalkan dunia hitam. Artinya ia telah kembali ke jalan yang benar. Ia manusia pilihan, ledek teman-temannya. Pak Juki pantas meraih gelar pendekar sakti dari rumah kosong, karena rumahnya yang megah dengan garasi mobil yang berisi mobil bagus berdekatan dengan sebuah rumah kosong. Pendekar yang satu ini sangat mudah dikenali dengan rambutnya yang putih, senyum serius, langkah terburu-buru,  dan tas punggung yang sarat dengan isi, suatu  beban yang tidak pantas untuk orang setua dirinya, meskpun sesungguhnya tidak terlalu tua, dan belum merasa tua. Tas punggung yang berat itu menjadi salah satu bukti ia tetap setia menjadi guru yang bersemangat, meskpun rambut telah memutih.  Ia enggan menerima saran teman-teman untuk menyemir rambutnya yang tinggal separuh itu.
            Orang memahami bahwa rambut merupakan mahkota bagi siapa saja. Orang kadang melihat sosok seseorang dengan melihat kepalanya, kalau botak berarti banyak berpikir tentang berbagai hal. Meski bukan  guru besar atau yang biasa dipanggil profesor Pak Juki sering dipanggil profesor karena yang botak kata orang layak dipanggil profesor. Kepala Pak Juki selalu dan terlalu aktif dengan berbagai ide, gagasan dan inovasi, baik yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan pembelajaran, tentang organisasi ini-itu, makelar ini-itu, mengurus ini-itu, dan sebagainya. Tentu saja ini memerlukan energi berpikir berlebih. Kerja otak memang secara pandangan mata lahiriah tidak kelihatan. Ia seperti mesin saat berputar dan beraksi melepas energi panas. Pak Juki memiliki kening yang mengkilap tanda otaknya hidup. Pak Juki seperti tampak lebih tua dari umurnya, itupun hal yang wajar.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang super sibuk, hari ini Pak Juki dimanjakan dengan tempat duduk yang empuk. Pak Juki sedang duduk menunggu namanya dipanggil masuk ke ruang dokter. Tidak lama namanya dipanggil untuk masuk ke ruang periksa.
“Pak Juki sakit apa gerangan? Paling-paling demam ya?” tanya dokter.
“Mohon dicek! Yang komplit, Dok” kata Pak Juki.
”Siap Pak Juki, akan saya periksa selengkap mungkin,” kata dokter sambil tersenyum.
Dokter yang memeriksa Pak Juki masih muda belia dan kenal baik dengannya. Dulu waktu masih di bangku sekolah dasar, si dokter murid Pak Juki yang paling pintar, punya IQ di atas rata-rata, pantas dan pas untuk jadi seorang dokter.  Kini murid Pak Juki itu membuka praktik tidak jauh dari rumahnya. Sejak buka praktik dokter itu selalu dibanjiri pasien mulai dari yang dekat sampai yang jauh. Di antara pasien itu ada  Pak Juki yang mendapat penghormatan khusus. Pak Juki mendapat pelayanan dokter ternama dengan gratis dan bonus senyum manis.
“Pak Toni kurang fit saja. Mungkin terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan,” kata dokter.
Pak Toni hanya mengangguk sambal tersenyum kecut. Ia kembali ke tempat duduk setelah diperiksa beberapa saat. Pak Toni melihat dokter mencatat hasil cek up yang dilakukan cukup lama. Sesaat ia memandang dokter muda yang memakai jas putih dengan kaca mata minus satu setengah. Dokter itu tampak lebih dewasa dari usia yang sebenarnya, dengan cekatan ia membuat catatan hasil diagnosa. Tak lepas dari wajah dokter muda yang cantik itu selalu terbit senyumnya yang ramah. Sambil tersenyum ia memberikan secarik kertas kepada Pak Juki, kemudian menyalaminya.
“Mohon maaf, Pak Juki. Bapak harus banyak istrahat, tidak boleh banyak berpikir dulu. Tugas-tugas harap didelegasikan kepada teman sejawat lainnya. Kurangi makanan seperti kacang-kacangan, sate kambing, daging yang berwarna merah, telur puyuh, bakso sapi, dan sea food, ” kata dokter sambal memberikan kertas resep.
“Masih ada yang lainnya, Dok?” tanya Pak Juki penasaran.
“Maaf, bapak tidak boleh kurang tidur, tidak boleh tertekan, tidak boleh grusa-grusu, tetap santai dan banyak tersenyum,” kata dokter itu.
Pak Juki membawa secarik kertas berisi catatan dokter itu. Asam uratnya 9,6 mg/dL, kolesterolnya 255 mg, tekanan darah 160/80 mmHg, dan kadar gula darah 250 mg/dL. Data yang diberikan oleh dokter tadi menunjukkan sesuatu yang tidak menggembirakan. Ada yang tidak beres dengan kesehatan Pak Juki, ia segera beranjak pulang dengan langkah yang gontai, seperti kehiangan separuh semangatnya. Beberapa kali ke dokter, nasihat yang masuk ke telinganya hampir sama, ia supaya banyak istirahat, kurangi jenis makanan ini dan itu,  istirahat yang cukup, makan yang teratur, perbanyak rekreasi dan hiburan. Hal terakhir memang nyaris tak dapat ia lakukan pada bulan-bulan sibuk.
Istirahat yang cukup dan banyak rekreasi itu sungguh menarik bagi Pak Juki. Ini yang seharusnya tidak boleh hanya sebatas angan-angan,  cerita indah dari teman-teman tentang tempat-tempat rekreasi yang seru,  yang dapat mengembalikan kesegaran jiwa Pak Juki yang sarat dengan berbagai aktifitas rutinitas yang berputar seperti roda waktu. Kapan berakhir? Namanya juga pekerjaan, tak ada berakhirnya, tak ada matinya, berlaku terus sampai tua, sampai pensiun, begitu pikir Pak Juki.
Di luar tempat praktik dokter sudah menunggu sopir cekatan yang menghampirinya.
“Langsung ke apotik, atau saya antar pulang dulu, Pak?” sambut sopir sambil membukakan pintu mobil.
“Antar pulang dulu. Kertas resep dokter nanti kamu bawa ke apotik? Sekalian bawa uang,” kata Pak Juki sambil memberikan beberapa lembar uang ratus ribuan.
“Siap Pak Juki,” kata sopir dengan sigap.
Sopir yang setia itu sering dimintai Pak Juki untuk mengantarkan ke berbagai acara di luar jam dinas. Awalnya Pak Juki enggan meminta tolong kepada anak itu, Rudi namaya,  tetapi setelah berbincag-bincang dan saling mengenal, Pak Juki sering meminta Rudi menjadi driver di waktu-waktu senggang. Lagi pula Pak Juki memang tidak bisa membawa mobil sendiri. Pak Juki memiliki beberapa motor dan sebuah mobil tetapi jarang sekali memakainya. Ia lebih suka pergi ke sekolah dengan berjalan kaki atau naik angkot. Di rumah Pak Juki yang  besar hanya ada isteri, yang berangkat pagi pulang petang, bekerja dan atau mengajar di berbagai perguruan tinggi atau beberapa lembaga pendidikan. Pasangan ini belum dikaruniai momongan. Nasib baik berpihak kepada anak muda itu, sebab kini sudah dianggap sebagai anak sendiri dan bebas memakai kendaraan pribadi milik Pak Juki.
“Ingat, tidak boleh mengganggu waktu sekolahmu, ya?” kata Pak Juki memberikan peringatan.
“Siap Pak Juki,” ujar anak muda itu dengan sigap.
Beberapa hari kemudian terdengar kabar kalau Pak Toni terserang stroke. Kabar ini sangat mengagetkan teman-teman sejawat Sang Guru. Untunglah ada anak muda yang menolongi dan merawat Pak Juki. Saat Pak Juki opname di rumah sakit, anak muda itu sangat terampil mengurus berbagai keperluan. Isteri Pak Juki sangat berterima kasih kepada anak muda yang luar biasa ini.
Opname hampir dua minggu. Kabar sakitnya Pak Juki tersiar luas. Banyak temannya datang menengok. Saat ini kaki kiri Pak Juki tidak dapat digerakkan. Tangannya diam saja. Kakinya juga. Beruntung, tangan dan kaki kianannya masih berfungsi dengan baik. Orang mengatakan, itu lumpuh setengah. Tanda tangan masih dapat ia lakukan. Tanda tangan setiap dokumen harus disodorkan kepadanya. Ia tidak dapat mengambil sendiri
Saat suasana malam sudah sepi, anak muda ini duduk di samping tempat tidur Pak Juki di ruang perawatan. Ada beberapa pasien penderita gangguan kesehatan serupa di deretan kamar pasien blok Mawar. Ada Tuan Suparjo, Tuan Toni, Tuan Alex, Nyonya Juminten, Tuan Tukino, dan Tuan Karyono. Mereka ada di deret kamar nomor 13, 14, 15, 16, 17, dan 18. Anak muda itu berusaha menghilangkan kejenuhan dengan cara mengunjungi pasien deretan kamar sebelah. Mereka mendapat perawatan dari dokter yang sama. Terpikir di benak anak muda itu, di sinilah orang belajar tentang arti sabar dan kesetiaan. Lebih dari itu, siapa yang dirawat di sini, dan siapa yang menjaganya? Mereka dikenal sebagai orang-orang yang berjasa di dunia pendidikan. Anak muda itu penasaran dengan pasien-pasien yang berada di blok Mawar. Anak muda itu menyaksikan ada persamaan momen dan penderitaan.
Seperti yang dialami oleh Pak Suparjo, teman Pak Juki yang serba bisa. Usianya masih kepala lima. Tidak terlalu muda memang, tetapi tidak pas pula disebut uzur. Itu usia produktif. Saat semangat masih menyala. Pak Suparjo ini terserang stroke beberapa hari yang lalu. Pulang dari kantor tubuh terasa lemas tak berdaya. Dia ambruk di kamar mandi. Lalu di bawa ke rumah sakit. Opname seminggu. Pulang ke rumah sudah tidak bisa menggerakan kaki dan tangan kirinya. Terpaksa berjalan dengan kruk. Terseok-seok. Lidahnya ikut-ikutan kelu. Bicaranya kurang jelas. Sekarang kembali di rawat di rumah sakit.
Di kamar nomor 14, ada Pak Toni dan isterinya tetap bersabar melihat keadaan suaminya yang mengalami serangan stroke. Isteri Pak Toni mengungkapkan, ada beberapa teman suaminya yang terkena stroke, contohnya Pak Juki itu. Ia mulai mengingat-ingat beberapa sahabat suaminya. Mungkin itu sekedar menghibur diri, dan sebagai sarana introspeksi agar serangan stroke tidak menghinggapi dirinya. Siapa mereka yang tercatat dalam buku diary perempuan penyabar itu? Anak muda itu menganggap isteri Pak Toni sosok wanita penyabar dan setia.
Di kamar nomor 15, ada teman masa kecil Pak Juki yang sangat energik, namanya Pak Alex, usianya sudah hampir kepala lima, belum terlalu tua karena ia belum pensiun. Ia suka olahraga. Setiap pagi hobi sepedaan. Renang juga. Hidupnya sudah memenuhi standar pola hidup sehat dan oke. Secara lahiriah begitu. Tetapi ia tidak luput dari serangan stroke. Tiba-tiba tubuhnya lemas. Handphone di tangannya lepas. Matanya memutih kehilangan darah. Ia dilarikan ke rumah sakit. Masuk ke ruang gawat darurat. Dokter mendiagnosa. kena stroke.  Segera disuntik obat pencair darah. Dokter melaksanakan prosedur operasi  standar dalam penanganan stroke. Terpaksa dirujuk ke rumah sakit yang lebih tinggi dari segi tenaga medis maupun sarana prasaranya. Sekarang kembali mendapat perawatan di blok Mawar.
Berikutnya di kamar nomor 16 ada Nyonya Juminten. Guru perempuan comel,  lincah,  dan energik ketika mengajar di kelas. Tidak terlalu tua, juga tidak terlalu muda. Pulang dari aktifitas di sekolah ia ambruk tak berdaya. Dilarikan ke rumah sakit. Dokter mendiagnosa, ini serangan stroke ringan. Opname hampir dua minggu. Pulang dari rumah sakit kaki dan tangan kanan sudah sulit digerakkan. Sekarang memakai kursi roda. Yang ini bicaranya juga cadel. Gangguan pada fungsi organ mulut. Suara keluar dari kerongkongan terdengar tidak seperti biasanya. Tangan kanan kurang berfungsi. Tanda tangan sudah tidak lancar. Ia belum dapat menandatangani dokumen ijazah milik anak-anak di sekolah, sementara dokumen lainnya antre menunggu yang bersangkutan tanda tangan. Lalu sampai kapan? Dokter ahlinya pun tidak dapat menjawab.
Lalu kamar nomor 17 dengan pasien Tuan Tukino. Seorang kepala sekolah muda. Masih usia kepala empat. Tidak gemuk, tidak kurus. Sudah berhenti merokok. Kehidupan rumah tangganya aman-aman saja. Ekonomi tidak kurang. Tunjangan Pak Toni lancar mengalir ke rekeningnya setiap tiga bulan. Secara materi hidupnya tercukupi. Isterinya bekerja sebagai PNS di sebuah instansi pemerintah daerah. Seperti tidak ada yang kurang di rumahnya. Saat aktifitas di sekolah kepalanya terasa pusing dan tidak enak badan. Teman Pak Toni di dekatnya segera menghubungi keluarga. Ia segera dibawa ke rumah sakit. Dokter mengharuskan opname. Beberapa jam kemudian Pak Tukino muntah-muntah. Hasil cek ternyata terserang stroke juga. Pembuluh darahnya ada yang pecah.
Terakhir kamar nomor 18 ada Tuan Karyono. Ceritanya tengah malam setengah dua belas, dadanya terasa sakit. Tuan Karyono yang berwajah ganteng dan handsome ini memanggil isterinya. Ia mengeluh dadanya sakit dan minta diolesi minyak kayu putih. Sang isteri sigap memijit bagian yang sakit dengan minyak kayu putih. Hangat minyak kayu putih tidak menolong apa-apa. Jam tiga pagi ia pamit untuk selama-lamanya. Pagi-pagi geger. Sontak pecah tangis di pagi buta.
Setelah beberapa saat terjadi kegaduhan akhirnya keluarga menyadari. Tuhan telah menuliskan segala takdir. Apa yang dialaminya sudah tertulis di suratan nasib. Pasrah menjadi kata yang terbaik. Serangan stroke telah melumpuhkan banyak teman Pak Juki, bahkan megakhiri hidup mereka. Begitu cepat mereka pergi. Seakan-akan baru kemarin mereka bercanda ria, berkelakar  dengan beraneka kisah lucu. Mereka sahabatku, sahabatmu, dan sahabat banyak orang.
Masih banyak hal yang belum dilakukan, tetapi berakhir masanya, ia harus pulang. Kepulangannya mengagetkan banyak orang. Keluarga dan sahabat masih belum bisa menghapus wajahnya dari memori di benak lubuk hati. Saat ia telah pergi, kini hanya dapat menyebut amal kebaikannya yang terukir menjadi kenangan. Anak muda itu tertegun sambil membolak-balik buku catatan harian Sang Guru yang diwasiatkan kepadanya...!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya Jawab Dunia Pendidikan

Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) untuk Kepsek dan Pengawas Sekolah

6 Aspek Perkembangan Anak Usia Dini