Gadis Berlumpur

Gadis Berlumpur

oleh Yudi Karsono

"Berbahagialah untuk saat ini. Saat ini adalah hidupmu." - Omar Khayyam

Hari ini matahari pagi hadir dengan sumringah. Hari ini aku datang dengan sepeda tua buatan Belanda. Sepeda yang lahir pada zaman nenek moyang, generasi baby boomer. Pakaian yang kukenakan pun melazimkan dengan apa yang aku bawa. Tidak ada asesoris kekinian yang dapat dibanggakan. Maklum aku belum punya grup seperti teman-teman, sehingga info tentang macam-macam asesoris tidak kuketahui. Teman-teman banyak juga yang menyarankan agar aku segera bergabung dengan berbagai grup sepedaan. Katanya gratis dan tidak ada iuran apapun. Sampai saat ini saran dan masukan itu belum aku masukkan ke dalam hati. Aku masih berdua. Berdua dengan sepeda tuaku.

Sepeda tua melaju di jalan sawah. Jalan yang berlubang dan banyak ditemukan genangan air, berlumpur dan licin. Jalan becek karena hujan dan aliran air irigasi yang meluber ke jalan-jalan. Hal tersebut mengakibatkan jalan berbahaya bagi pengguna yang belum mengenal medan dengan baik. Orang baru dijamin terpersosok ke dalam kubangan. Bajupun akan basah air bercampur lumpur. Barang siapa ingin selamat, makai a harus berjalan pelan dan memperhatikan arah yang akan dilalui. Orang sudah paham, jalan ini sangat sering membuat celaka. Jalan ini rusak karena terlalu sering dilalui berbagai makhluk. Mulai dari bebek, mentok, sapi, kerbau, kuda, truk, bis, dan manusia. Jalan ini menanggung beban yang terlalu berat.

Biarlah beban berat ditanggung oleh jalan tengah sawah ini. Asal para penggunanya bahagia, tak mengapa. Banyak pengguna menahan diri untuk mengeluh. Hampir semuanya berhasil untuk tidak berkata-kata. Berkeluh kesah tiada guna. Perjalanan di tempat ini tidak dapat ngobrol dan bercanda ria. Orang akan mempercepat langkah apabila melintasi jalan ini agar dapat terhindar dari bahaya.

Matahari pagi hadir semakin sumringah Sinarnya kurasakan mulai terasa hangat. Sepedaku terus melaju melewati jalan tengah sawah. Terbersit dalam hati untuk berhenti di jalan ini walau hanya sejenak. Aku melihat kanan kiri tanah sawah yang terbentang luas. Bau lumpur yang mulai mengendap masih tercium segar. Pemandangan yang indah. Sawah luas membentang siap ditanami padi hari ini.

Aku turun dari sepeda untuk melihat dari dekat lahan sawah yang siap ditanami bibit padi. Aku berjalan pada pematang sawah. Gemercik air mengalir terdengar semakin jelas. Tidak jauh dari tempat aku berdiri ada beberapa orang yang akan memulai pekerjaannya, menanam bibit padi.  Ada beberapa perempuan berkulit gelap karena teriknya matahari, resiko sebagai buruh tandur. Mereka menggunakan pelindung kepala tudung yang terbuat dari anyaman bambu.

Aku melihat ada gubuk yang tidak jauh dari pematang yang sedang aku lalui. Aku berhenti dan memeperhatikan makhluk di tengah sawah. Apa yang akan aku lakukan? Akankah menyapa dengan sapaan, selamat pagi? Kepada orang-orang akan mengawali tanam padi?. Mereka berkumpul berembug untuk tugas yang akan mereka kerjakan. Kerja bersama itu mereka namakan dengan tandur. Pekerjaan menanam padi itu diawali dari  arah mata angin yang disepakati, timur atau barat. Mereka mengawalinya dari arah timur dekat jalan yang sedang aku lewati.

Orang yang tandur tidak semuanya pemilik sawah. Mereka dipekerjakan oleh pemilik sawah atau sebut saja mereka itu buruh upah. Sehabis pekerjaa itu selesai mereka akan mendapatkan bayaran. Upah yang diterima sesuai dengan harga ongkos kerja yang berlaku di tempat itu. Ongkos kerja itu dapat untuk membeli satu porsi sate kambing. Lumayan daripada bengong di rumah. Maklum Sebagian besar mereka termasuk perempuan desa yang sederhana dan tidak berpendidikan tinggi. Umurnya pun sudah lewat dari setengah abad. Mereka masuk kategori generasi BB. Jumlahnya tidak banyak memang, dan ternyata masih sangat dibutuhkan. Tanpa dibantu oleh para perempuan yang mau berpanas ria itu, pekerjaan tandur tak bakal selesai.

Ada sesuatu yang aneh dari mereka. Itu yang membuatku penasaran. Kalau saya hitung, jumlah semuanya ada lima orang, dan yang keenamnya, itu yang paling aneh sendiri. Mosok, orang mau tandur pakai kaos oblong, visor cap, dan celana jeans. Ini sih, pelancong yang akan selfie di tengah sawah. Orang akan tersenyum atau setidaknya menelan ludah melihat ulah anak gadis milenial yang suka selfi itu. Dia seperti sedang merancang selfi di tempat ini. Yah, itu tentu dilakukan setelah dia selfi di mana-mana, di mal, alun-alun, kebun binatang, kali, jembatan, dan sekarang di sawah yang akan ditanami padi. Keren ‘kan?

“Sini, aku bantuin ambil gambarnya,” kataku sok akrab kepada pelancong yang akan  selfi di tengah sawah.

“Terima kasih, bapak. Gue udah pake kamera otomatis. Bapak tidak perlu repot-repot bantuin gue? Tuh, lihat!” kata perempuan yang memakai visor cap.

Apakah wajahku sudah tampak tua seperti seorang bapak? Satu kata yang menohok. Sayang sekali di sini tidak ada cermin untuk berkaca melihat raut wajah. Kupalingkan wajah pada beningnya air sawah. Sepertinya aku ini masih berwajah bayi, kenapa dipanggil bapak? Melihat wajah pada pantulan air sawah bukan merupakan jawaban. Setidaknya kata itu menyisakan sebuah tanda tanya. Aku akan menjawabnya suatu saat nanti. Tunggu saja!

Aku berhenti di gubuk sawah yang lumayan bagus. Di dalam gubuk itu ada dua anak gadis dengan visor cap juga. Ada anak gadis sebaya yang sedang mengatur kamera dengan menggunakan tripod. Wah, sepertinya ini anak-anak yang kreatif. Mungkin ia sedang merencanakan pembuatan vlog atau film pendek yang dapat diunggah di kanal youtube-nya.

“Apa nama kanal youtubemu? Nanti aku subscribe, like and share,”kataku sambil tersenyum.

“Wah, bapak follow IG aku, ya?” tanya si gadis bertopi dan … berlumpur.

“Aku harus menjawab: aku akan menjadi followermu! Ingat, identitasku, laki-laki yang suka sepedaan, menyusuri jalan-jalan, kadang ke jalan kota, desa, pelosok, hutan, dan kali ini, ke jalan becek tengah sawah,” kataku sambil tetap berdiri di pematang sawah.

“Apakah bapak tidak takut jantungan?” gadis itu bertanya lagi.

Lagi-lagi kata-kata menohok keluar dari mulutnya. Jantungan memang aku sudah berumur? Tekanan darah masih 120 mmHg /80 mmHg. Aku kuat berlari mengelilingi stadion 7 – 10 putaran. Ini membuktikan jantungku baik-baik saja. Tidak benar sama sekali aku ini menderita jantungan.  

“Loh, apa orang seperti saya pantas jantungan?” balasku cepat.

Perbincangan terhenti sejenak. Aku masih berdiri dan kembali terdiam melihat aksi dua gadis itu. Gadis yang berada di gubuk keluar membawa kamera dan memasang tripod di pematang sawah. Beberapa saat ia mengatur posisi. Beberapa kali pindah sana pindah sini. Menempatkan tripod yang pas untuk sasaran yang akan diambil gambarnya.

“Sepertinya di sini sangat pas,” gumam gadis itu sambal mengatur titik fokus kamera.

Menurutnya ini pengambilan gambar yang pas sekali karena tidak membelakangi sinar matahari pagi. Matahari masih sepenggalah. Gambar yang diambil kemungkinan cukup bagus. Tidak perlu pencahayaan karena sudah dibantu oleh cahaya matahari pagi yang hangat dan terang. Gadis itu berteriak, mantap! Sambil memberikan isyarat dengan jempolnya.

Action!” teriaknya.

Cut, cut!” katanya sambil menggerakkan tangannya untuk menghentikan aksi gadis berlumpur.

Setelah beberapa kali percobaan yang gagal, akhirnya mereka menemuka format yang pas. Ia membuka rekaman uji coba. Ada pengambilan gambar yang terkesan dibuat-buat (padahal memang dibuat-buat). Iapun men-delet-nya. Ini yang Namanya kamera jahat. Mengapa gambar yang ia ambil tidak sebagus kenyataannya? Gadis itu nyengir sambil dengan gemes menghapus video yang baru saja direkamnya. Itu perbuatan buang-buang waktu, pikirku. Sekali lagi, itu memang perbuatan membuang-buang waktu, pikirku. Tapi mungkin saja tidak, sebab itu menjadi satu langkah untuk langkah berikutnya.Jangan menyerah, gumam gadis itu.

Gadis itu mulai menanam padi bersama perempuan lain. Ia menanam padi dengan langkah mundur, maka disebut dengan tandur. Menata dengan cara mundur. Ini langkah mundur dalam sejarah yang disukai orang, yaitu orang menanam padi. Padi ditanam dengan teratur  mulai dari depan terus mundur. Padi ditanam satu persatu di tanah gembur dengan teratur.

“Baru kali ini tandurku disyuting,”ujar salah satu perempuan yang memakai tudung.

“Ini karena Mbak Ayu pulang dari kota,”balas perempuan yang di sampingnya.

Loh, apa hubungannya antara Mbak Ayu dengan pekerjaan mereka? Ternyata ortunya Mbak Ayu itu pemilik sawah ini.

“O, sudah jadi orang kota, ya?” tanya perempuan berbaju merah.

“Sudah lamaaa,” sahut gadis bertopi yang ternyata dipanggil Ayu.

“Kamu ketinggalan informasi,” sahut yang lain.

“Maklum belum menjadi anggota whattsap grup,” balas gadis yang ada di dalam gubuk.

Mereka asyik dengan pekerjaannya. Seperti tak mengenal lelah. Setengah petak sawah sudah mereka selesaikan. Sesekali mereka mencermati hasil pekerjaanya. Padi tertata dengan teratur mulai dari pinggir sawah. Tanah yang gembur mempercepat pekerjaan mereka. Satu persatu bibit padi yang dicabut dari uritan selesai ditanam. Bibit padi segar datang lagi yang diantarkan seorang laki-laki bercaping. Ia yang menjadi petugas khusus untuk mencabut bibit padi di uritan.

Petugas yang ndaut uritan bekerja dengan penuh semangat. Apalagi melihat teman-temannya bekerja dengan cekatan. Tidak ada hambatan yang berarti dalam pekerjaan ini. Tanah uritan tidak keras sehingga bibit padi dapat dicabut dengan mudah. Bibit padi yang akan ditanam termasuk bibit unggul yang tahan terhadap serangan wereng, tungro, hawar, dan lainnya.

“Ini jenis padi apa pak?” tanyaku kepada orang yang sedang ndaut.

“O, ini padi yang menghasilkan beras wangi atau harum ras 'Cianjur Pandanwangi' , kata orang padi ini telah menjadi kultivar unggul, sedangkan yang satu petak di sana itu jenis 'rajalele'. Kedua kultivar ini adalah varietas javanica,” katanya menjelaskan.

Petani ini memiliki pengetahuan yang luas tentang padi yang akan ditanamnya. Ia telah memperoleh pengetahuan tersebut dari para petugas penyuluh yang sering mendatangi rumahnya. Di desa ini sudah ada kelompok tani yang diberi nama Bareng Makmur. Ketua kelompok tani ini ya, bapak yang sedang men-daut bibit di uritan tadi. Beberapa jenis padi unggul sudah ia tanam. Hasil panen selalu tidak mengecewakan. Di wilayah kabupaten hasil panen para petani di desanya menjadi percontohan untuk daerah lain. Di desa ini para petani telah memiliki bekal pengetahuan tentang bibit padi yang akan ditanamnya. Itu salah satu rahasia kenapa panennya melimpah. Hasil panen hampir tak tertandingi dengan daerah lain.

“Kita ngopi dulu, mas!” ajak petani yang baru selesai cabut bibit.

“Memang ada kopi, pak?” tanyaku penasaran.

“O, ada. Saya bawa kopi dan termos air panas. Mari, kita ke gubuk dulu, istirahat sebentar!” ajak petani itu sambil menepuk bahuku.

Petani tadi mengeluarkan kopi yang terbungkus aluminium foil, beberapa gelas dan sendok teh. Ia mulai menuangkan kopi ke dalam dua, eh, tiga gelas yang ada di depannya.

“Pakai gula?” tanya petani itu.

“Tidak, pak. Aku sudah terbiasa minum kopi tanpa gula,” kataku menjelaskan.

“Loh, kok sama dengan saya?” ujarnya sambil memandangku.

“Kebetulan saja, pak!” ujarku sambil nyengir.

“Ini anak saya yang mengajari supaya minum kopi tanpa gula. Manfaatnya lumayan. Meski saya sudah berumur, berat badan saya tetap stabil, jantung normal, kulit tetap segar, gula darah baik, dan yang lebih penting lagi semangat dan mood untuk kerja tahan lama,” kata petani itu sambil menuangkan air panas ke dalam gelas.

Ia mengaduk kopi dengan pelan, kemudian menyodorkan kepadaku sambil berkata,”Ayo, ngopi dulu!”

“Terima kasih,” jawabku pendek sambil tersenyum.

“Petani sudah tidak sumringah lagi. Produktivitas menurun, yang mau jadi petani itu generasi tua yang pendidikannya rendah. Pemerintah harus membujuk generasi milenial  agar mau terjun ke sektor pertanian.”

“Lebih sering harga komoditas pangan jatuh saat panen, ini yang memberi kontribusi pada rendahnya penghasilan petani. Harga gabah anjlok. Para petani nglokro,” katanya dengan ekspresi sedih. Ia melanjutkan,”Harus ada yang berperan menjaga stabilitas harga pada saat petani panen raya, syukur menghentikan impor-impor itu. Supaya harga tetap stabil setiap datangnya panen yang melimpah. Itu yang diharapkan,” katanya sambil menyeruput kopi pahit yang pekat.

"Upah buruh tidak seberapa, seporsi sate saja gak dapat. Dapat dibilang tidak layak. Buruh tani banyak yang beralih kerja menjadi buruh bangunan. Ongkos kerja kuli bangunan lebih tinggi sehingga menarik mereka untuk meninggalkan pekerjaan lamanya," imbuhnya.

Obrolan semakin lama semakin asyik. Tak terasa kopi pahit tinggal sedikit di pantat gelas. Petani di depanku ini memiliki ilmu bertani yang luas. Tetapi ilmu bertani yang luas itu seperti tidak berfaedah, oleh keadaan komoditi pertanian yang pasarnya kurang bahkan tidak menjanjikan.

Aku menengok ke kanan ke kiri, kok sepedaku tidak ada di tempatnya. Aku segera berdiri dan bergegas menuju jalan tengah sawah. 

“Maaf, pak saya nengok sepeda dulu,” kataku sambil berjalan ke jalan.

Siapa yang membawa sepedaku? Sepeda tuaku sudah tidak ada di tempatnya. Ada yang telah membawa pergi sepeda tuaku. Tadi saya parkir di pinggir jalan. Tidak menaruh curiga apapun pada orang yang lewat di jalan ini.

Kejadian ini membuatku gugup. Suasana tidak nyaman berbaur dengan panas matahari siang membuat keringat meleleh di keningku. Aku mencari handphone di saku celana. Aduh handphoneku tadi saya tinggal di tas kecil yang menggelantung pada sepeda. Lengkap sudah deritaku hari ini***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya Jawab Dunia Pendidikan

Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) untuk Kepsek dan Pengawas Sekolah

6 Aspek Perkembangan Anak Usia Dini