Cerpen: Camar yang Pulang


CAMAR YANG PULANG
oleh Yudhi Karsono
Di pojok kantin kampus duduk perempuan muda yang barangkali mahasiswi di kampus ini. Ia memakai celana jeans dipadu dengan sepatu kets branded. Ia sangat santai menikmati sarapan pagi yang barangkali terlambat, karena sekarang sudah menunjukkan jam 10.00. Kemeja yang dipakainya rapi, dan itu menjadi salah satu kelemahannya atau mungkin sekaligus kekuatannya, karena wajah cantiknya berpadu dengan aura melankolis seperti sesuatu yang saling menutupi. Sesaat kemudian ia berdiri untuk menggeser tempat duduk. Tingginya sedang, kurus, tampak dari jari-jemarinya dan jam tangan yang terlalu longgar di tangannya. Ada tai lalat di pipi kanan agak ke bawah. Aku tidak tahu apa-apa tentang gadis itu. Tetapi temanku akan menceritakan sesuatu kepadaku tentang gadis itu.
“Kasihan perempuan itu, Bon. Dilihat dari wajahnya saja menyayat-nyayat hatiku,” kata Tom sengaja memancing rasa penasaranku.
“Kamu sok tahu saja. Gadis cantik itu tidak memerlukan belas kasihanmu, Tom. Apa yang kurang?” kataku berusaha membela gadis itu.
Tom terdiam sambil memandang keluar kantin. Pandangan yang lepas menjauh, dan itu seperti pandangan terjauh yang pernah aku lihat.
Siang ini kota dan langit utara diselimuti awan. Sekali-sekali suara guruh di langit menyambangi kota bukit dengan cahaya berkilatan. Tom hanya memandang ke luar jendela. Hujan mulai rintik-rintik menyapu gadung-gedung angkuh yang tak pernah merunduk. Saat hujan turun serasa meredam gundah, seperti tanah kering dan jati meranggas terguyur air segar dari langit.
“Pulang Bon?” tanya Tom keras-keras. Aku menengok ke arah suara. Tampak sepotong wajah anak muda di balik jendela, yang dikenal sebagai Tom. Siapa itu Tom? Aku sebenarnya juga tidak tahu asal-usul anak itu.. Saat ini yang aku ketahui Tom itu anak muda yang suka bergaul dan berorganisasi.
‘Tumben ramah sekali denganku? Jangan-jangan ada sesuatu?” aku bertanya bernada curiga.
“Bon, sebulan aku menempati rumah kos ini. Rumah kecil di ujung jalan kecil. Ada puluhan pohon randu di sepanjang jalan ini. Satu, dua, tiga, empat, lima … dua puluh satu, ya dua puluh satu. Pohon yang ke-18 tepat berada di samping asrama,” kata-kata Tom nerocos berlagak cermat. Asal tahu saja, pohon randu di sepanjang jalan ini memang ada dua puluh satu.
“Seminggu yang lalu aku bersepeda pagi-pagi meyusuri jalan Merpati, memutar ke jalan Elang, membelok ke jalan Gelatik, menuruni jalan Manyar dan berhenti di jalan Camar. Kamu pengin tahun hasilnya?” kata Tom sambil memperlihatkan kameranya.
“Tidak ada yang istimiewa!” kataku enteng menanggapinya.
“Lihat ini! Lihat, Bon! Kau tahu siapa ini?”
“Gadis yang tangannya belepotan tepung maksudmu?”
“Bukan. Bukan, tetapi makhluk yang berdiri didiekatnya,” kata Tom menunjukkan fotonya.
“Itu gadis yang pernah kau lihat di kantin kampus? Lalu apa hebatnya? Buang-buang waktu mengurusi anak orang. Apakah kau bersahabat dengan kuntilanak itu?” tanyaku penasaran.
“Apa katamu? Gadis secantik ini kau katakan kuntilanak? Bon, jangan munafik! Kau sendiri yang mengatakan gadis ini cantik. Sekarang kau mengatakan kuntilanak. Dua kata yang berbeda makna kan?” nerocos mulut Tom seperti kebiasaannya.
“Lalu apa hubungannya gadis berlumur tepung dan temannya itu denganmu, Tom? Kau sebagai malaikat penolongnya? Hah, itu hanya skenario sebuah sinetron saja,” tanyaku berusaha menghentikan pembicaraan Tom.
“Tidak usah menaruh curiga, Bon. Kau belum tahu siapa dia sebenarnya,” kata Tom seperti menyimpan sebuah teka-teki.
Tom memang tidak memberi informasi yang lebih tentang perempuan muda yang ada di fotonya kemarin. Misteri apa yang sedang dibawa Tom? Apakah perempuan muda itu buronan polisi yang berkaitan dengan peredaran narkoba di kalangan mahasiswa? Atau mungkin mucikari yang disinyalir berkeliaran di kampus ini? Atau siapa dia sebenarnya?
Seperti pagi sebelumnya, jarang anak-anak kos di sini bangun kesiangan. Pagi-pagi depan kos pasti diramaikan orang yang lari-lari kecil, sendiri, berdua, bertiga, rombongan, atau naik sepeda beramai-ramai. Suasana seperti itu selalu mengiringi pagi Tom dan yang lainnya.
Tampak bersemangat Tom berangkat ke kampus. Motornya merayap diiringi gerimis kecil dan kabut tipis, melaju tak lebih dari 60 kilometer perjam. Paling menyebalkan konvoi truk, bis antarprovinsi, angkutan, kendaraan pribadi, dan sederet motor. Tepat di depan Tom, mobil Yaris putih tulang melaju hati-hati. Melihat plat nomor cantik kendaraan cantik di depannya, Tom tahu siapa penumpang di dalamnya. Ia terus membuntuti menembus kabut tipis.
Kampus sudah ramai dengan berbagai kesibukan mahasiswa.  
“Punya cerita hari ini, Tom?” kataku sambil menepuk pundak Tom.
“Belum ada yang menarik. Kalau ingin mendapatkan gagasan dariku mestinya ada syarat-syaratnya. Misal, aku ditraktir yang sedikit bergizi, Artinya jangan  aku yang bersusah payah, kamu yang dapat uang. Tidak adil,” kata Tom sepertinya berseloroh.
“Kapan-kapan kutraktir semangkok bakso, sebungkus nasi goreng, atau nasi kucing?” kataku meledek.
“Huh, jangan sebut nasi kucing lagi, itu yang membuat otakku beku, nilaiku hancur!”nada bicara Tom meninggi.
“Nilaimu hancur bukan karena nasi kucing, tapi perilakumu yang seperti kucing, mendengkur melulu, bangun kesiangan, telat Subuhan, mana mungkin meraih prestasi gemilang?”kataku mencoba meletakkan persoalan pada tempatnya.
“Haduh, mulutmu seperti mbahku aja, tua!” katanya sambil beranjak pergu ke kelasnya.
Sudah tidak ada pembicaraan lagi sampai tiba waktu makan siang.
Hari ini Tom tak makan siang di kantin. Apakah ia tidak ingin melihat perempuan muda itu lagi? Apa yang akan dikerjakannya lagi sekarang? Ia ke perpustakaan menyelesaikan tugas. Mudah-mudahan ia bertahan lama di perpustakaan. Untunglah hari ini pengunjung tidak terlalu padat, suasana nyaman untuk duduk dan membolak-balik buku, kalau ada gangguan, paling-paling sekali dua kali beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari buku di belakangnya.
“Ini proposal kegiatan besok, Tom!” kataku meletakkannya di dekat meja baca.
“Terimakasih. Sudah lengkap, Bon? Kuajak kau minta tanda tangan dan menemui narasumber hari ini,” kata Tom sambil menoleh ke arahku.
“Siapa narasumbernya?”tanyaku penasaran.
“Narasumbernya orang pintar, ahli, dan …,”. Tom menahan napas,” … cantik!” katanya .
“Pastinya bukan kuntilanak?” kataku sambil tertawa.
Penjaga perpus menoleh sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar tawa kami. Sepertinya penjaga perpus itu memvonis kami hanya memiliki satu otak, separoh ada di kepala Tom dan separoh lainnya ada di kepalaku? Sehingga kami dapat tertawa lepas, bebas sampai urat-urat tegang berganti lemas (bersambung)

Komentar

  1. ketika orang berulangkali gagal, mungkin ia akan kembali mencoba bangkit dengan kesempatan berikutnya .... dan sy berterima kasih bila anda punya saran dan masukan utk tulisan tidak berguna ini!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya Jawab Dunia Pendidikan

Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) untuk Kepsek dan Pengawas Sekolah

6 Aspek Perkembangan Anak Usia Dini