Pada
awalnya aktivitas bermain pada anak belum mendapatkan perhatian yang khusus dari para ahli ilmu jiwa. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya pengetahuan tentang perkembangan anak. Secara umum perkembangan
teori bermain terbagi menjadi dua yaitu teori-teori klasik dan teori-teori
modern. Berikut ini akan dijabarkan intisari teori-teori perkembangan bermain tersebut.
Bermain
merupakan kebutuhan anak dalam kehidupan sehari-hari, bahkan Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) mengakui bahwa bermain merupakan hak anak yang harus dihormati. Anak
bermain mulai dari pagi hari sampai dengan siang hari bahkan kadang lupa akan waktu dan tempat dalam bermain karena asyiknya
bermain. Dapat pula dikatakan sepanjang waktu anak selalu bermain, tetapi
sejak kapan bermain
itu ada dan mengapa anak bermain? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban
yang tepat tidaklah
mudah karena
banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya berdasarkan oleh pemikiran-pemikiran atau teori-teori yang ada.
Huizinga
dalam Sukintaka mengatakan bahwa bermain lebih tua dari pada kebudayaan, sebab kebudayaan itu selalu
didasari oleh pemikiran dan segala peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan manusia. Kebudayaan timbul karena adanya akal budi manusia untuk mewujudkan suatu pemikiran/penalaran. Sebelum berpikir manusia telah melakukan
aktivitas bermain karena adanya dorongan yang lain seperti
insting ataupun motif lain. Drijarkara mengemukakan bahwa bermain
telah berusia sama dengan umur manusia. Bermain
merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia
yang berarti dimana ada kehidupan disitu
pula terjadi aktivitas
bermain, yang berarti
pula bermain seiring dengan kehidupan
manusia.
Sedang
Rijsdorp dalam Matakupan (1993) menyatakan bahwa sejak zaman primitif sudah ada permainan di seluruh
pelosok dunia. Hal ini menandakan bahwa sejak
manusia belum mengenal
kehidupan yang beradab
manusia sudah mengenal dan melakukan permainan
sehingga dapat dikatakan bahwa bermain sudah dilaksanakan sejak dahulu kala, dan berlangsung sampai sekarang. Secara
nyata bermain berlangsung sepanjang hayat, anak bermain sejak dalam kandungan
sampai tua/liang lahat.
Selanjutnya
mengenai sebab-sebab anak bermain dapat dijelaskan melalui teori klasik dan teori modern. Teori
Klasik tentang Bermain dan Permainan dikemukakan oleh beberapa tokoh di
antaranya:
1. Teori Teleologi/Pembawaan (K. Groos & Roeles)
Permainan merupakan
kegiatan biologis yang dapat dipergunakan untuk mempelajari fungsi hidup, penguasaan gerak, keingintahuan, persaingan, dan dapat mempersiapkan anak untuk kehidupannya di masa yang akan datang.
2. Teori Surplus
Energy (H. Spencer)
Kelebihan tenaga yang dimiliki oleh seseorang akan disalurkan atau dikeluarkan melalui kegiatan bermain
atau permainan. Surplus/kelebihan tersebut meliputi: kelebihan
energi, penyaluran emosi & vitalitas. Teori surplus energi dikemukakan oleh Herbert Spencer yang menjelaskan bahwa bermain
terjadi akibat energi yang berlebihan
dan ini hanya berlaku pada manusia dan binatang dengan tingkat evolusi
tinggi. Energi berlebih ini dapat diibaratkan sebagai
sistem kerja air atau gas yang mempunyai
tekanan ke segala
arah untuk menyalurkan kekuatannya. Tekanan akan lebih kuat dan butuh penyaluran yang lebih besar apabila volume atau isi air/gas sudah melebihi
daya tampungnya. Hal ini tampak pada diri anak yang selalu siap sedia untuk bermain walaupun
dalam keadaan apapun, misal anak sehabis pulang sekolah tetap bermain dengan teman-temannya walaupun
di sekolah telah belajar dan bermain dalam waktu yang relatif lama. Dalam dunia binatang hanya
binatang yang mempunyai tingkat evolusi tinggi
saja yang bermain
karena surplus energi,
sedang binatang yang tingkat evolusi rendah energinya
hanya untuk mempertahankan hidupnya.
3. Teori Rekreasi/Pelepasan (Lazarus & Schaller)
Bermain sebagai
perimbangan antara kerja dengan istirahat. Kepenatan dan kejenuhan seseorang akan disalurkan melalui
kegiatan bermain & berekreasi
sebagai pelepasan agar kesegaran jasmani dan
rohaninya segera kembali. Setelah beraktivitas yang menguras tenaga, maka kesegaran tubuh perlu dipulihkan. Pemulihan tenaga ini dapat dilakukan melalui istirahat atau tidur
dan dapat pula dengan cara lain yaitu
kegiatan kreatif. Bermain adalah perimbangan antara kerja dan istirahat
yang merupakan cara ideal untuk memulihkan tenaga.
4. Teori Sublimasi (Ed. Clapatade)
Melalui bermain
seseorang yang memiliki
insting/naluri yang rendah berproses menuju perubahan
menjadi perbuatan dan tindakan ke arah yang lebih baik.
5. Teori Rekapitulasi/Evolusi/Reinkarnasi (Hall)
Teori rekapitulasi dikemukakan oleh G. Stanley Hall dalam Tejasaputra
(2001) menjelaskan bahwa anak merekapitulasi mata rantai evolusi dari binatang sampai
menjadi manusia artinya anak menjalani semua
tahapan perkembangan kehidupan dari yang sederhana sampai komplek
dalam hidupnya sebagaimana evolusi manusia. Dengan demikian perkembangan manusia akan mengulangi perkembangan manusia
terdahulu sehingga pengalaman-pengalaman nenek
moyangnya akan ditampilkan kembali dalam dunia anak termasuk
kegiatan bermain. Teori rekapitulasi memberikan
penjelasan secara rinci mengenai tahapan kegiatan bermain yang mengikuti tata urutan yang
sama dengan evolusi makluk
hidup. Sekedar contoh tahapan kegiatan bermain adalah: bermain air,
memanjat pohon, berburu, memanah, menombak, bergulat dan lain sebagainya.
6. Teori Praktis
Teori praktis dikemukakan oleh Karl Groos yang meyakini bahwa bermain berfungsi untuk memperkuat insting
yang dibutuhkan untuk kelangsungan
hidup di masa mendatang. Jadi bermain berfungsi sebagai sarana latihan untuk kesiapan hidup dan
mempertahankan hidup di masa datang. Sedang Groos mengutarakan bahwa bermain
mempunyai tugas biologik dan mereka yang bermain itu mempelajari fungsi hidup untuk keperluan
hidup di kemudian hari. Anak bermain berlarian atau kejar- kejaran
dapat dipandang sebagai sarana latihan untuk mempertahan hidup dan menyiapkan diri pada kehidupan yang akan datang.
Ketika anak berlari berarti semua
komponen organ tubuh seperti: sistem otot, sistem syaraf,
sistem pernafasan, sistem peredaran darah, sistem pencernaan akan terstimulus
dengan baik.
Teori modern tentang
bermain dikemukakan oleh ahli berikut:
1. Teori Belajar Sosial
Manusia sebagai makhluk
monodualisme yaitu makhluk individu dan makhluk sosial.
Bermain dapat menjadi
sarana atau media untuk bersosialisasi dan berinteraksi,
berkomunikasi dengan individu lain atau menjalankan fungsi sebagai makhluk
sosial
2. Teori Psikoanalisa (Sigmund Freud)
Bermain sebagai media, sarana, alat atau cara
untuk menyalurkan emosi- emosi dari dalam diri. Bermain juga menjadi media
untuk belajar mengatasi pengalaman
traumatik atau frustasi. Teori ini memandang bermain seperti halnya berfantasi atau melamun/berangan-angan. Melalui
bermain atau berangan-angan anak dapat memproyeksikan harapan-harapannya maupun konflik-konflik pribadinya. Anak dapat mengeluarkan segala perasaan negatif seperti pengalaman yang tidak
menyenangkan/menyakitkan, atau pengalaman
traumatik, dan harapan-harapan yang tidak dapat diwujudkan dalam kenyataan melalui aktivitas bermain.
Melalui bermain anak dapat memerankan atau memindahperankan perasaan
negatif ke obyek pengganti, dan hal tersebut
dilakukan berulang-ulang menyebabkan anak belajar mengatasi
situasi yang tidak menyenangkan, sehingga
menimbulkan perasaan lega. Oleh sebab itu menurut
Freud bermain dapat mengatasi masalah
psikis anak terutama
akan kejadian yang menyedihkan atau traumatik.
Sehingga memberi peluang bermain berfungsi sebagai
sarana terapi bagi anak.
3. Teori Kompensasi
Bermain selain berfungsi sebagai
pengisi waktu luang dan penyalur
rekreasi tetapi juga menjadi kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan dan sebagai pertahanan hidup (sebagai profesi).
4. Teori Kognitif
(Piaget & Vygotsky)
Bermain merupakan bagian
dari tahap perkembangan kognitif (daya tangkap,
daya tiru, daya imajinasi daya ingat) seorang anak. Bermain juga merupakan
sarana belajar berpikir
dan mengungkapkan ide-ide
(kreativitas/daya cipta) maupun
imajinasi Teori kognitif
didukung oleh Jean
Piaget, Lev Vygotsky,
Bruner, Sutton Smith, dan Singer.
Menurut Piaget anak mengalami tahapan
perkembangan kognisi sampai dengan proses berpikirnya menyamai
orang dewasa. Sejalan
dengan hal itu kegiatan bermainpun mengalami tahapan perkembangan
dari tahap sensorimotor sampai dengan
tahap bermain dengan
peraturan yang baku. Menurut Piaget
bermain tidak saja menggambarkan tahap
perkembangan kognisi anak tetapi bermain juga memberikan sumbangan yang nyata pada perkembangan kognisi anak itu sendiri.
Piaget berpendapat bahwa
dalam proses belajar perlu adaptasi, dan adaptasi memerlukan kesimbangan antara dua proses yang saling mendukung
yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
adalah proses penggabungan informasi baru dengan
struktur kognisi anak. Dalam proses asimilasi
ini dapat terjadi distorsi, modifikasi atau pembelokan fakta untuk disesuaikan dengan kognisi yang dimiliki
anak. Sedang akomodasi adalah mengubah struktur
kognisi seseorang untuk disesuaikan, diselaraskan, dengan atau meniru apa yang diamati dalam kenyataan. Bermain
adalah keadaan tidak seimbang dimana asimilasi lebih dominan dari pada akomodasi. Piaget mengemukakan bahwa pada saat bermain anak sebenarnya
tidak belajar hal yang baru tetapi anak belajar mempraktikkan dan mengkonsolidasi keterampilan yang baru diperoleh. Hal ini sangat penting
karena dengan praktik dan konsolidasi ini anak memperoleh suatu keterampilan baru
5. Pendapat Ki Hadjar Dewantara tentang Bermain
Bermain bagi anak
merupakan kodrat alam sesuai dengan pembawaan
masing- masing dan merupakan wujud kebebasan untuk berbuat serta mengatur
dirinya sendiri. Ki Hadjar Dewantara menaruh perhatian penuh terhadap permainan anak dalam kaitannya
dengan pendidikan Nasional. Permainan sesuai dengan jiwa anak sebagai
pemenuhan daya khayal dan dorongan
bergerak, maka permainan merupakan
faktor yang sangat
penting untuk pendidikan. Baik di Taman Indria, Taman Anak, dan Taman Muda.
Di Taman Siswa waktu itu,
pendidikan anak usia dini menggunakan metode sari-swara. Menurut
Ki Hajar, usia dini adalah
usia 0-7 tahun.
Metode sari-swara adalah metode yang menggabungkan pelajaran lagu, sastra,
dan cerita. Dalam gabungan tiga macam pelajaran
ini tergabunglah pula pendidikan rasa, fikiran, dan budi pekerti
(Dewantara, 1959:7).
Banyak sekali permainan di
dalam kebudayaan kita yang menggunakan lagu,
gerak, sekaligus mengasah pikiran atau kecerdasan kita. Di usia dini, anak-anak
perlu dilatih instingnya. Maksudnya, anak-anak di usia dini diberi kesempatan untuk
mengekspresikan segala keinginan, dorongan, nafsu, serta kekuatan-kekuatan lainnya. Ki Hajar Dewantara menyarankan dalam mendidik anak-anak
kita, hendaklah anak-anak
dibebaskan, serta diberi
arahan, bukan larangan.
Untuk mendorong pendidikan
lahiriah, anak-anak diberi
ruang untuk bergerak seleluasa mungkin. Sebab di masa usia dini itulah,
anak-anak sedang ada di dalam pertumbuhan motorik
yang luar biasa.
Sedangkan untuk mendidik
batinnya, anak-anak perlu didekatkan dengan
cara-cara yang sesuai dengan jiwa mereka, yaitu
dengan permainan, kerajinan, serta bernyanyi. Pendidikan usia dini hendaknya
mengubah sistem yang berorientasi pada pikiran atau kognitif seperti
membaca, menulis, menghitung
saja. Menurut Ki Hajar Dewantara, pada periode anak- anak (0-7 tahun),
belumlah waktunya mereka belajar menggunakan pikirannya. Jiwanya masih bersifat utuh, bulat, atau total dan
belum terlihat diferensiasi tri-sakti
manusia: pikiran, rasa dan kemauan.
6. Menurut Hurlock
Hurlock (1978:320) menyatakan bahwa bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan
tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban. Kegiatan
bermain adalah kegiatan yang tidak mempunyai
peraturan lain kecuali
yang ditetapkan pemain itu sendiri
dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas
luar. Hurlock membedakan bermain menjadi dua yaitu bermain
aktif dan pasif, bermain aktif apabila kesenangan diperoleh melalui aktivitas
individu atau berperan
aktif dalam kegiatan
bermain tersebut. Sedang bermain pasif (hiburan) kesenangan diperoleh melalui penglihatan atau pendengaran dari aktivitas orang lain, misal menonton teman-teman bermain, mendengarkan
aktivitas teman bermain dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar