Para Tokoh Humanistik

 

Carl R. Rogers

Menurutnya, belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual maupun emosional peserta didik. Oleh karena itu, menurut teori belajar humanisme bahwa motivasi belajar harus bersumber pada diri peserta didik. Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu:

(1)              belajar yang bermakna dan

(2)              belajar yang tidak bermakna.

Belajar yang bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan perasaan peserta didik, sedangkan    belajar    yang    tidak bermakna    terjadi    jika    dalam    proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek perasaan peserta didik.

Bagaimana proses belajar dapat terjadi menurut teori belajar humanisme? Seseorang belajar karena ingin mengetahui dunianya, ia akan memilih sesuatu untuk dipelajari, mengusahakan proses belajar dengan caranya sendiri, dan menilai sendiri apakah proses belajarnya berhasil atau tidak.

Peranan guru dalam kegiatan belajar adalah sebagai fasilitator yang berperan aktif untuk:

(1) membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif agar peserta didik bersikap positif terhadap belajar,

(2) membantu peserta didik untuk memperjelas tujuan belajarnya dan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar,

(3) membantu peserta didik untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai kekuatan pendorong belajar,

(4) menyediakan berbagai sumber belajar kepada peserta didik, dan

(5)  menerima pertanyaan dan pendapat, serta perasaan dari berbagai peserta didik sebagaimana adanya.


Carl R. Rogers


Arthur Comb

Comb mencurahkan banyak perhatian terhadap dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan dan belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Ketidakberhasilan siswa pada mata pelajaran tertentu bukan karena ia bodoh, tetapi karena ia terpaksa dan merasa tidak ada alasan penting baginya harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu tidak lain adalah ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya (Iskandar, 2009:107).

Untuk itu guru harus memahami perilaku peserta didik dengan mencoba memahami dunia persepsi peserta didik tersebut, sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan yang ada pada peserta didik. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya, padahal materi pelajaran itu belum tentu berarti bagi siswa. Menurutnya yang penting ialah bagaimana membuat peserta didik memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.

Combs memberikan lukisan persepsi diri dalam dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal   yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan (Wasti Sumanto, 1998:107)


Arthur Comb


Abraham Maslow

Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).

Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan

atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Tingkatan kebutuhan seseorang menurut Maslow adalah sebagai berikut:  

1. Kebutuhan  fisiologis,  

2.  Kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan. Setiap individu mempunyai kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan.

3.      Kebutuhan untuk diterima dan dicintai.

4.      Kebutuhan akan penghargaan.

5.      Kebutuhan akan aktualisasi diri.

Setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Pemaparan tentang kebutuhan psikologis untuk menumbuhkan, mengembangkan dan menggunakan kemampuan disebut aktualisasi diri, dan merupakan salah satu aspek penting teorinya tentang motivasi manusia. Kebutuhan untuk mengungkapkan diri atau aktualisasi diri merupakan hierarki kebutuhan dasar manusia yang paling tinggi dalam Maslow. Kebutuhan ini akan muncul apabila kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya telah terpuaskan dengan baik. Self Actualization menurut istilah Maslow ialah pemenuhan dirinya sendiri dan realisasi dari potensi pribadi. Aktualisasi diri didefinisikan sebagai “the desire to become everything that one is capable of becoming (keinginan untuk menjadi apa pun yang ingin dia lakukan) (Djiwandono, 2004: 346).

Dengan kata lain, aktualisasi diri merupakan hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan realisasi dari potensi yang dimilikinya. Maslow berpendapat bahwa guru dalam mengajar dan mendidik anak harus dapat memberikan kepuasan terhadap kebutuhan- kebutuhan (need) anak. Ia mengatakan bahwa motivasi dan perhatian belajar anak akan tumbuh jika yang ia pelajari sesuai dengan kebutuhannya (Wasti Sumanto, 1998:138).

Menurut teori humanisme, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia, yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, dan realisasi diri peserta didik yang belajar secara optimal. Proses belajar dikatakan berhasil apabila peserta didik telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri (Bambang Warsita, 2008:75).

 




 










Abraham Maslow





       Jurgen Habermas  (1929-sekarang)

      Tokoh humanis lain adalah Habermas (1929-sekarang). Menurutnya belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud di sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu; 1) belajar teknis (technical learning), 2) belajar praktis (practical learning), dan   3)   belajar   emansipatoris   (emancipatory learning). Masing-masing tipe memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1.                1.  Belajar Teknis (technical learning)

Belajar teknis adalah tipe belajaragar seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Belajar teknis membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sain amat dipentingkan dalam belajar teknis.

2.     Belajar Praktis (practical learning)

Belajar praktis adalah tipe belajar agar seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antropologi, dan semacamnya, amat diperlukan.

3.     Belajar Emansipatoris (emancipatory learning)

       Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.










Jurgen Habermas


 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanya Jawab Dunia Pendidikan

Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) untuk Kepsek dan Pengawas Sekolah

6 Aspek Perkembangan Anak Usia Dini